Waspadai PLB Jadi Jalur Barang Ilegal, Didik Haryadi Angkat Suara
PLB harus diawasi ketat, merata aksesnya, dan disosialisasikan agar bermanfaat untuk semua pelaku industri
Anggota Komisi XI DPR RI, Didik Haryadi, menyuarakan kekhawatirannya soal keberadaan Pusat Logistik Berikat (PLB) yang dinilai punya celah disalahgunakan sebagai jalur masuk barang ilegal.
JAKARTA - Dalam rapat bersama Dirjen Bea Cukai dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (19/5/2025), Didik menegaskan pentingnya mitigasi yang kuat agar PLB tidak jadi “pintu belakang” masuknya barang-barang luar yang merugikan industri dalam negeri.
“Tentu menjadi screening awal dan menjadi mitigasi tentang masuknya barang-barang ilegal dari luar negeri,” ujarnya di hadapan para mitra kerja Komisi XI.
Menurut Didik, ada indikasi bahwa fasilitas PLB ini kerap disalahgunakan untuk under table transaction atau transaksi gelap. Jika tak diawasi ketat, hal ini bisa menurunkan daya saing pelaku usaha lokal.
“Yang menjadikan potensi barang-barang masuk yang dari luar ini malah menjadi sesuatu yang biasa Pak. Sehingga perlu antisipasi yang tegas dan penegakan hukum yang ketat di dalam hal ini,” tegasnya lagi.
Tak hanya soal pengawasan, Didik juga menyoroti aksesibilitas PLB yang dinilai belum merata. Ia mendorong agar lokasi PLB berada dekat jalur transportasi dan mudah dijangkau, khususnya di daerah-daerah seperti Papua, perbatasan Kalimantan, hingga Sulawesi Barat.
“Saya berharap lokasi-lokasi yang ditunjuk ini harus dekat dengan akses transportasi. Kemudian harus mudah dijangkau oleh pelaku usaha,” jelasnya.
Didik juga mengingatkan, penempatan PLB yang jauh atau sulit dijangkau bisa menyebabkan tambahan biaya yang justru membebani pelaku usaha, terutama yang berskala kecil dan menengah.
Lebih lanjut, politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini mempertanyakan apakah skema PLB sebagai *hub* logistik benar-benar efektif dan diketahui secara luas oleh para pelaku industri, terutama UMKM dan sektor e-commerce. Ia khawatir, skema PLB ini hanya dinikmati segelintir perusahaan besar karena minimnya sosialisasi.
“Apakah betul-betul skema ini dipahami oleh teman-teman pelaku usaha? Saya takutnya di dalam skema ini hanya diketahui oleh pihak-pihak tertentu atau eksklusivitas perusahaan-perusahaan tertentu,” kata Didik.
Ia mendorong agar Kementerian Keuangan dan pihak terkait gencar melakukan sosialisasi, baik melalui media sosial, iklan, maupun unit-unit teknis di daerah.
“Karena memang kita berharap tidak hanya yang memanfaatkan ini hanya industri-industri besar saja, tetapi industri-industri yang kecil, menengah, dan teman-teman yang memulai merintis industri baru juga, supaya tahu tentang fasilitas PLB ini,” lanjutnya.
Sebagai penutup, Didik menekankan pentingnya pengembangan fasilitas di dalam PLB yang menyesuaikan kebutuhan wilayah, seperti ketersediaan cold storage dan fasilitas khusus lainnya yang bisa menunjang industri lokal.
“Fasilitas khusus mungkin tidak semua wilayah harus sama, tetapi bagaimana persegmentasi kewilayahan memperhatikan potensi-potensi wilayah dan potensi-potensi kedaerahan tersebut,” tutupnya.
![]() |
Anggota Komisi XI DPR RI, Didik Haryadi. Foto : Instagram/@didikharyadi.official |
JAKARTA - Dalam rapat bersama Dirjen Bea Cukai dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Gedung DPR RI, Senayan, Senin (19/5/2025), Didik menegaskan pentingnya mitigasi yang kuat agar PLB tidak jadi “pintu belakang” masuknya barang-barang luar yang merugikan industri dalam negeri.
“Tentu menjadi screening awal dan menjadi mitigasi tentang masuknya barang-barang ilegal dari luar negeri,” ujarnya di hadapan para mitra kerja Komisi XI.
Menurut Didik, ada indikasi bahwa fasilitas PLB ini kerap disalahgunakan untuk under table transaction atau transaksi gelap. Jika tak diawasi ketat, hal ini bisa menurunkan daya saing pelaku usaha lokal.
“Yang menjadikan potensi barang-barang masuk yang dari luar ini malah menjadi sesuatu yang biasa Pak. Sehingga perlu antisipasi yang tegas dan penegakan hukum yang ketat di dalam hal ini,” tegasnya lagi.
Tak hanya soal pengawasan, Didik juga menyoroti aksesibilitas PLB yang dinilai belum merata. Ia mendorong agar lokasi PLB berada dekat jalur transportasi dan mudah dijangkau, khususnya di daerah-daerah seperti Papua, perbatasan Kalimantan, hingga Sulawesi Barat.
“Saya berharap lokasi-lokasi yang ditunjuk ini harus dekat dengan akses transportasi. Kemudian harus mudah dijangkau oleh pelaku usaha,” jelasnya.
Didik juga mengingatkan, penempatan PLB yang jauh atau sulit dijangkau bisa menyebabkan tambahan biaya yang justru membebani pelaku usaha, terutama yang berskala kecil dan menengah.
Lebih lanjut, politisi dari Fraksi PDI Perjuangan ini mempertanyakan apakah skema PLB sebagai *hub* logistik benar-benar efektif dan diketahui secara luas oleh para pelaku industri, terutama UMKM dan sektor e-commerce. Ia khawatir, skema PLB ini hanya dinikmati segelintir perusahaan besar karena minimnya sosialisasi.
“Apakah betul-betul skema ini dipahami oleh teman-teman pelaku usaha? Saya takutnya di dalam skema ini hanya diketahui oleh pihak-pihak tertentu atau eksklusivitas perusahaan-perusahaan tertentu,” kata Didik.
Ia mendorong agar Kementerian Keuangan dan pihak terkait gencar melakukan sosialisasi, baik melalui media sosial, iklan, maupun unit-unit teknis di daerah.
“Karena memang kita berharap tidak hanya yang memanfaatkan ini hanya industri-industri besar saja, tetapi industri-industri yang kecil, menengah, dan teman-teman yang memulai merintis industri baru juga, supaya tahu tentang fasilitas PLB ini,” lanjutnya.
Sebagai penutup, Didik menekankan pentingnya pengembangan fasilitas di dalam PLB yang menyesuaikan kebutuhan wilayah, seperti ketersediaan cold storage dan fasilitas khusus lainnya yang bisa menunjang industri lokal.
“Fasilitas khusus mungkin tidak semua wilayah harus sama, tetapi bagaimana persegmentasi kewilayahan memperhatikan potensi-potensi wilayah dan potensi-potensi kedaerahan tersebut,” tutupnya.
Posting Komentar