Kewajiban Badan Publik Menyampaikan Informasi dan Menyoal Vexatious Request

Masih ada lembaga publik mempersulit pemohon mendapatkan informasi
Memperoleh informasi adalah hak setiap warga negara sebagian dari hak asasi setiap manusia yang dilindungi Konstitusi UUD 1945 pasal 28F. Juga diatur secara jelas dalam UU Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14/ 2008. 

Webinar “Bagaimana Cara Memperoleh vs Menjawab Informasi Publik” yang digelar Magnitude Indonesia bersama Magnitude Institute of Transparency (MIT), Kamis (18/8/2022) di Jakarta.. Foto: IST

JAKARTA - Hal itu diungkapkan oleh Awaludin Muzaki dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Jakarta dalam Webinar “Bagaimana Cara Memperoleh vs Menjawab Informasi Publik” yang digelar Magnitude Indonesia bersama Magnitude Institute of Transparency (MIT), Kamis (18/8/2022) di Jakarta.

“Badan publik sudah seharusnya memberikan informasi dengan cepat, tepat waktu, biaya yang ringan, dan kemudahan akses. Sayangnya, saat ini menurut saya masih ada saja lembaga publik yang mempersulit para pemohon untuk memberikan informasi. Seringkali LBH Masyarakat lama menunggu hingga berbulan-bulan ketika mengajukan permintaan informasi. Bahkan seringkali badan publik tidak merespons. Padahal informasi tersebut akan kami gunakan untuk keperluan pihak yang kami sedang dampingi, sebagai penasehat hukum,” kata Awaludin Muzaki menjelaskan.

Sebanyak 77 peserta dari PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) kementerian, lembaga negara, BUMN, BUMD, pemerintah provinsi dan kabupaten kota dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti Webinar Serial ke-27 bertema “Bagaimana Cara Memperoleh vs Menjawab Informasi Publik” ini. 

Seminar ini merupakan agenda dua mingguan dari Magnitude Indonesia bersama Magnitude Institute of Transparency (MIT), lembaga yang fokus pada riset keterbukaan informasi dan training peningkatan kapasitas para personel PPID di berbagai badan publik. 

Hadir sebagai narasumber Awaludin Muzaki, SH. staf pengaduan LBH Masyarakat dan Triana Nurchayati, S.Sos., MIK, Direktur Konten dan Konsultan Senior Magnitude Indonesia. Seminar dipandu oleh Handiyono Aruman, Manager Bisnis Magnitude Indonesia sebagai moderator.

Akses terhadap informasi publik juga bisa menjadi sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara oleh Badan Publik, selain untuk pengembangan masyarakat yang makin informatif saat ini.

Informasi mestinya bersifat inklusif bagi semua. Oleh karena itu setiap lembaga publik hendaknya memiliki layanan keterbukaan informasi dengan platform yang dapat diakses oleh masyarakat. “Seperti kita tahu, banyak Badan Publik, kementerian, lembaga maupun BUMN dan Pemda yang telah memaliki website PPID, bahkan aplikasi untuk memudahkan publik mengakses informasi,” ujar Triana Nurchayati, praktisi keterbukaan informasi publik yang juga Direktur Konten Magnitude Indonesia.

Triana Nurchayati menambahkan bahwa zaman sekarang banyak platform yang dapat digunakan badan publik, termasuk LSM yang mempermudah proses permohonan informasi. Misalnya, integrasi antara call center dan PPID yang bertujuan untuk meminimalisir sengketa informasi dan mempermudah layanan informasi.

Sementara itu CEO Magnitude Indonesia Abdul Rahman Ma’mun dalam sambutan pembuka mengungkapkan bahwa setelah reformasi, Indonesia memiliki UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang berguna untuk menjaga tata kelola penyelenggaraan negara yang baik atau good govenrnance. 

“Keterbukaan informasi tidak hanya diperlukan oleh publik atau masyarakat, namun juga berguna bagi Badan Publik penyelenggara negara, atau pemilik informasi sebagai kepentingan bersama dalam membangun good governance. Apalagi setelah 77 tahun Indonesia merdeka akan baik kalau lebih transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan negara ini,” kata Abdul Rahman Ma’mun yang juga Dosen Universitas Paramadina, Jakarta.

Dalam diskusi berkembang pertanyaan peserta tentang vexatious request atau permohonan informasi yang menganggu karena dilakukan berulang-ulang dengan banyak permintaan di banyak instansi. Pertanyaan muncul dari Purbaningrum, PPID Diskominfo Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dan Fuad Mushofa dari Ombudsman RI. “Apabila ada pemohon yang mengajukan permintaan informasi banyak sekali di banyak instansi, apakah dapat dimasukkan kedalam vexatious request?"

Tentang vexatious request memang terdapat Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1/2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik, yang menyebutkan ‘permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan iktikad baik’. Berdasarkan Pasal 4 Perki 1/ 2013 itu ada tiga jenis permohonan yang masuk kategori vexatious request. 

Pertama, mengajukan permohonan dalam jumlah yang besar sekaligus atau berulang-ulang namun tidak memiliki tujuan yang jelas atau tidak memiliki relevansi dengan tujuan permohonan. 

Kedua, mengajukan permohonan dengan tujuan untuk mengganggu proses penyelesaian sengketa.Ketiga, pemohon pada saat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melakukan pelecehan kepada petugas dengan perlakuan di luar prosedur penyelesaian sengketa.

Mahkamah Agung juga pernah menyetujui argumen vexatious request tersebut dipakai untuk menolak permohonan kasasi. Majelis Hakim Agung menggunakan dalil Pasal 4 Perki No. 1 Tahun 2013 ditemukan dalam putusan Nomor 58 K/PTUN/2017. Majelis Hakim Agung beranggotakan Yulius, Irfan Fachrudin dan M. Hary Djatmiko menyatakan permohonan pemohon dalam perkara a quo dapat dianggap sebagai permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan iktikad baik. 

Majelis Hakim Agung sependapat dengan Majelis Komisi Informasi Provinsi Sumatera Selatan saat itu yang menyebut pemohon mengajukan permohonan sampai lebih dari seratus. Sepanjang tahun 2016 saja sebagian besar sengketa di Komisi Informasi diajukan oleh pemohon yang sama, belum lagi puluhan permohonan lain yang belum diputus.