Melalui Sebutir Kurma, Rasulullah SAW Ajak Umatnya Untuk Berlatih Antikorupsi Sejak Dini

Sebuah hadis singkat padat dari Nabi Muhammad SAW menegaskan; “Jauhilah neraka, meskipun dengan sepotong kurma.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ketua KPK Firli Bahuri

Hadis di atas juga dapat dipahami dengan, Ittaqillaha wa law bi syiqqi tamrah. Bertakwalah kepada Allah SWT meskipun hanya dengan sepotong buah korma.

Meski singkat, namun hadis ini padat makna. Dalam istilah ilmu hadis, hal seperti ini disebut dengan jawami’ al-kalim. Nabi SAW mendidik umat Islam dari sebutir kurma.

Sebuah pendidikan yang sangat ramah lingkungan, berbasis lingkungan. Seandainya Nabi Muhammad SAW hidup di tanah air Indonesia, barangkali bunyi hadis itu akan lebih dahsyat lagi. Takutlah kepada Allah SWT meskipun hanya dengan sebutir beras.

Hadis tersebut seringkali dipahami dalam konteks kedermawanan. Bertakwalah kepada Allah SWT dengan bersedekah walaupun hanya dengan sepotong kurma.

Dengan pemahaman semacam itu, kita seringkali juga berpikir bahwa kebaikan hanya terletak pada hal menyalurkan harta yang kita punya kepada hal-hal yang baik.

Karena itu, kita juga jarang sekali memperhatikan asal muasal dan dari mana harta itu berasal. Hadis di atas harusnya juga dipahami dalam konteks mendapatkan harta.

Ia harus dibawa ke dalam pemahaman anti korupsi. Bahwa seseorang harus selalu waspada terhadap harta yang dia dapatkan, termasuk harta sekecil dan sesepele sepotong kurma, tetap harus diwaspadai dan bisa dipastikan kehalalannya.

Logikanya, di balik sebuah perintah maupun ancaman, pastilah ada perbuatan negatif yang melatarbe- lakanginya. Maka, dalam hal ini pemaknaan yang lebih tepat adalah takutlah kamu pada siksaan Allah SWT tidak sekedar mengucapkan sebutir, melainkan kurang dari itu, sepotongnya.

Lalu, bagaimana dengan sekarung kurma? Dan bagaimana pula dengan sekarung uang? Tentu jauh lebih besar ancamannya.

Jika pendidikan pemahaman hadis seperti ini dita-namkan kepada anak-anak sejak usia dini, niscaya akan terbangun sebuah karakter anti korupsi.

Dengan demikian, sedikitpun jangan sekali-kali mengambil yang bukan menjadi hakmu, meskipun hanya senilai sepotong kurma saja. Itulah hakikat takwa. Atau, bertakwalah kepada Allah SWT, meskipun hanya diamanahi menjaga sepotong kurma saja.

Begitu juga, bertwakwalah kepada Allah, meskipun dengan cara berse- dekah sepotong kurma. Apalagi, lanjutan hadis tersebut adalah, “jika tidak mendapati sepotong kurma, maka [bertakwalah] dengan kalimat thayyibah.”

Selain sebagai sebuah nilai dan prinsip, hadis tersebut tentu saja harus diwujudkan dalam satu sistem pengawasan yang dalam mencegah berbagai tindakan kezaliman yang berkaitan dengan penggunaan dana atau anggaran. Karena korupsi sendiri, memiliki banyak bentuknya dan beragam.

Pertama, ada mereka yang korupsi karena sekedar bertahan hidup. Biasanya dilakukan para pegawai kecil yang meminta ‘uang rokok’ agar urusan kita lancar. Menanggulangi korupsi jenis ini pemerintah harus tingkatkan gaji pegawai rendahan dan harus sederhanakan aturan administrasi dan birokrasi yang njelimet dan bisa menjadi celah permintaan ‘uang rokok’.

Kedua, korupsi yang terjadi karena sistemnya yang bobrok dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. Ini biasanya melibatkan level dirjen dan direktur atau bupati dan walikota di daerah.

Menanggulanginya harus dengan memperbaiki sistem keuangan di pemerintahan. Banyak dana yang tidak cair karena pejabat khawatir akan kena tuduhan korupsi.

Banyak juga masalah pengadaan barang atau alat-alat yg tidak memenuhi prosedur administrasi, tapi terkena pasal korupsi.

Ketiga, ada yang korupsi karena serakah. Ini level para pejabat tinggi seperti tingkat presiden, menteri, ketua Mahkamah Konstitusi, pejabat Bank Indonesia, BUMN, DPR, dan lainnya. Gaji dan fasilitas mereka sudah sangat tinggi, tapi masih korupsi.

Nah, beberapa kampanye biasanya hanya punya satu solusi: potong saja tangan koruptor. Namun, mereka tidak memahami bahwa persoalan korupsi itu sudah sistemik dan sistematis, yang tidak bisa semata-mata dilawan dengan memberikan hukuman yang berat seperti potong tangan.

Korupsi ini soal kesejahteraan pegawai rendahan, sistem birokrasi yang njelimet, aturan yang abu-abu dan terakhir soal keserakahan.

Sementara itu, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) baru menangani korupsi level ketiga.

Karena itu, jangan heran kalau masih banyak praktek korupsi terjadi karena persoalan di level pertama dan kedua yang belum tuntas kita selesaikan. Kita harus lebih kreatif lagi mengusung cara-cara yang lebih jitu.

Jadi, buat kita semua, urusan korupsi bukan hanya urusannya KPK saja. Itu adalah urusan kita semua. Urusan pendidikan kita dan generasi kita.

Hadis pendek di atas merupakan pendidikan antikorupsi yang jelas, yaitu melalui pendidikan ketakwaan. Pendidikan ketakwaan itu bukanlah pendidikan yang mengajarkan teori-teori atau cabang ilmu agama saja. Melainkan pendidikan yang betul-betul menanamkan karakter takwa kepada Tuhan Yang Mahaesa.