Cabut-Revisi Aturan Di Era Jokowi, Normalkah?

Polemik Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 berhasil diredam, setelah dapat perintah revisi dari Presiden Jokowi. Tapi, ini bukan kali pertama Jokowi cabut dan revisi aturan yang baru diteken. Sehingga muncul pertanyaan, apakah wajar?


Presiden Jokowi saat menyampaikan dalam acara Rapimnas Seknas Jokowi. FOTO: SETPRES


JAKARTA - Tanda tangan Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah mungkin masih basah. Karena dokumen yang memuat aturan tentang Jaminan Hari Tua (JHT) itu baru saja diteken pada 2 Februari lalu. 


Aturan ini sepertinya, memang serba 2. Dari nomornya, tanggal, bulan dan tahun ditekennya, hingga kerjanya pun 2 kali. Karena harus revisi lagi. Semoga tidak sampai tiga ya bu Ida...


Fenomena 2 kali kerja ini memunculkan beragam spekulasi di publik. Masalah tak ujug-ujug selesai, setelah Presiden turun tangan perintah revisi. Ada yang menduga Presiden gak baca aturannya, miskoordinasi, kurang matang kajiannya hingga cek ombak: jika ada penolakan, baru dicabut atau revisi.


Apalagi, Permenaker soal JHT ini bukan kasus pertama. Sebelumnya, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 19 Tahun 2021 soal Vaksinasi Covid-19 juga bernasib sama. Diteken Februari 2021, lalu dibatalkan Jokowi sekitar 5 bulan kemudian, yakni Juni 2021. Gara-garanya, aturan yang diteken Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin itu memuat pasal tentang vaksinasi berbayar.


Tak cuma aturan yang diteken menteri. Aturan yang diterbitkan oleh presiden sekalipun juga bolak-balik direvisi dan dibatalkan. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2015 misalnya. 


Perpres yang mengatur tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka Bagi Pejabat Negara Untuk Pembelian Kendaraan Per orangan itu jadi bumerang, karena dinilai tidak pro-rakyat. Sebabnya, Jokowi menaikkan fasilitas uang muka kendaraan pejabat negara dari Rp 116.650.000 menjadi Rp 210.890.000. 


Perpres itu laksana api yang disiram bahan bakar. Amarah rakyat dengan gampangnya tersulut. Karena diteken Jokowi saat subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) dicabut, dan harga kebutuhan hidup naik.


Hmmm... Perpres itu pun tak berumur panjang. Maret diteken, April dicabut. Jokowi malah kaget sama Perpres yang ditekennya sendiri, dan beralasan tak mengecek semua isinya. Karena sudah percaya penuh sama anak buahnya.


"Tiap hari ada segini banyak yang harus saya tanda tangan," kata Jokowi, ketika itu. 


"Enggak mungkin satu-satu saya cek kalau sudah satu lembar ada 5-10 orang yang paraf atau tanda tangan apakah harus saya cek satu-satu? Berapa lembar satu Perpres satu Keppres," curhatnya.


Perpres Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal juga bernasib sama. Lampiran yang memuat tentang investasi minuman keras (miras) mendapat protes keras dari masyarakat. Termasuk dari MUI, PBNU, Muhammadiyah, pemuka agama dan ormas lainnya. Walhasil, 2 Februari diteken, 2 Maret dicabut. Praktis hanya bertahan sebulan.


Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin mengatakan revisi atau pencabutan aturan yang sudah diteken oleh presiden maupun menteri bukanlah hal yang tabu dilakukan.


"Ya, normal saja itu," kata Ngabalin ketika dihubungi tadi malam.


Karena, setiap peraturan yang dikeluarkan baik oleh presiden maupun menteri selalu merujuk pada Undang-Undang yang telah disepakati oleh DPR dan Presiden. Permenaker soal JHT misalnya. "Kalau dilihat dari berbagai referensi dan regulasi tidak ada yang salah sebetulnya," ucap eks Anggota Komisi I DPR periode 2004-2009 ini.


Tapi lanjutnya, karena aturan tersebut mendapat respons negatif dari buruh, Presiden Jokowi turun tangan. Apalagi buruh yang berteriak, mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di masa-masa sulit akibat pandemi Covid-19. Karena harus menunggu JHT-nya cair di usia 56 tahun.


"Artinya kalau terus menerus, bisa menjadi eskalasi yang besar, makanya Menko Perekonomian dan Menaker dipanggil Presiden. Kalau tata cara pembayaran JHT, terasa sulit bagi buruh, Presiden minta disederhanakan," ingatnya.


Bagaimana dengan lampiran Perpres tentang investasi Miras yang dulu juga dicabut?


Menurut Ngabalin, sama. Rujukannya tetap Undang-Undang. Akan tetapi, tidak selamanya aturan yang benar menurut Undang-Undang, bisa diterima oleh publik, selaku user.


"Kalau di daerah, di NTT, Ambon dan lainnya, ada usaha minuman keras tradisional itu. Di daerah-daerah tertentu justru meningkatkan kesejahteraan. Tidak ada yang salah, tapi kalau diprotes oleh umat Islam, kan persoalannya bisa saja itu baik dan benar, tapi di publik harus diperbaiki, ya enggak apa-apa," tandasnya.


Pun demikian dengan Perpres dan Permen lain yang pernah dicabut dan direvisi. "Permen ini meskipun sudah kita kaji, bahas dan kita anggap bermanfaat, tapi di lapangan tidak begitu diterima oleh buruh, tidak adil. Ya gak apa-apa, ya normal saja itu," tutup Ngabalin.


Kendati demikian, alasan tersebut tentu tak semua orang dapat memakluminya. Menurut pakar komunikasi politik Maswadi Rauf, fenomena cabut-revisi aturan menteri dan presiden dalam waktu berdekatan itu bisa memunculkan kecurigaan publik.


"Ini perlu ada penjelasan dari pemerintah, enggak setelah dicabut, masalahnya selesai," kata Maswadi dalam perbincangan via telepon.


Dampak negatifnya bisa kemana-mana. Antara lain memunculkan analisa dan spekulasi liar di masyarakat hingga jadi celah untuk terus memojokkan pemerintah.


"Sehingga trust atau kepercayaan terhadap pemerintah bisa berkurang,"

sambungnya.


Soal pencairan JHT, misalnya. Guru Besar Ilmu Politik ini bilang, bisa saja kelompok tertentu mulai mengait-ngaitkan "duit nganggur" milik buruh di BPJS Ketenagakerjaan itu bakal dikait-kaitkan dengan kasus di ASABRI dan BLBI.


"Karena sama-sama duit nganggur. Dulu, orde baru duit nganggur disikat sama keluarga Cendana. Nah, duit nganggur buruh ini mau diapakan," imbuhnya.


Lalu siapa yang salah?


Menurut Prof Maswadi, salahnya ada di koordinasi. Rentetan cabut dan revisi aturan pemerintah itu mencerminkan buruknya sistem koordinasi dalam pemerintahan kita.


"Tidak ada rapat-rapat intesif sebelum membuat kebijakan itu, masing-masing menteri kerja sendiri, ada masalah lalu bingung," sentilnya.


Ia berharap sistem koordinasi ini diperbaiki. Agar sisa 2 tahun lagi masa jabatan Presiden Jokowi ini berakhir dengan baik. 


"Ke depan pemerintah harus meningkatkan koordinasi antar kementerian. Ada Menko, kok koordinasinya enggak ada. Presiden juga apakah enggak tahu atau pura-pura enggak tahu," pungkasnya.