Komnas HAM: Ditemukan Peluru Di Tubuh Korban, Polisi: Kami Humanis

Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah Dedi Askary menekankan penyelidikan awal penyebab kematian 1 orang anggota massa aksi penolak aktivitas pertambangan PT Trio Kencana di Kecamatan Kasimvar dan Tinombo Selatan.


Warga penolak tambang di Sulawesi Tengah yang diduga tewas akibat terkena tembakan peluru tajam. FOTO: TWITTER


JAKARTA - Warga tewas itu bernama Erfadi. Usianya masih muda, 21 tahun. Warga Desa Tada, Kecamatan Tinombo selatan, itu disebut meninggal karena peluru tajam. Sebagaimana proyektil yang ditemukan dan diangkat dari bagian tubuh korban.


"Proyektil tersebut masuk mengenai korban dari arah belakang," kata Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Sulawesi Tengah Dedi Askary, Senin (14/2).


"Terkait hal tersebut, kami lakukan klarifikasi dan Interview dengan beberapa pejabat utama di Polres Parigimoutong, dalam hal ini melalui Kabag Ops Polres Parigimoutong, AKP Junus Achpa," sambungnya.


Dari hasil komunikasi dengan Kabag Ops Polres Parigimoutong, AKP Junus Achpa, Komnas HAM mendapatkan keterangan bahwa korban bukan dari pihak kepolisian. Karena saat di lokasi Polisi dalam posisi berlapis-lapis.


"Selain itu disebutkan pula bahwa Pimpinan (Kapolres) mengedepankan sikap humanis dan langkah persuasif, tidak melibatkan penggunaan peluru tajam atau senjata," sambungnya.


Sementara itu, Komnas HAM menemukan fakta lain saat melakukan interview dengan keluarga almarhum. Keluarga korban menjelaskan sekaligus memperlihatkan proyektilnya.


"Alm. Erfaldi meninggal karena terkena peluru tajam dari aparat yang mengenai bagian belakang sebelah kiri tembus dibagian dada, ini terlihat dari kondisi luka sebagaimana yang dijelaskan oleh pihak puskesmas di Desa Katulistiwa saat lakukan visum dan mengangkat proyektil yang tersisa dan hinggap dibagian tubuh korban," terangnya.


Menghindari terjadi kesimpang siuran berkepanjangan, kepada pihak keluarga dan simpul-simpul massa,  melalui contact person Komnas HAM yang ada di Desa Tada, berupaya segera mengungkap siapa pelaku penembakan serta membantu melepas 45 warga yang ditangkap pihak Polres.


Namun Dedi menekankan satu catatan penting, bahwa semua pihak utamanya pihak keluarga dan simpul-simpul massa aksi dari desa-desa  yang ada di Kecamatan Kasimbar dan Tinombo Selatan mau menahan diri dan mengambil langkah cooling down. 


"Untuk mendapat kepastian dari pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang ada untuk semua mereka menahan diri dan lakukan cooling down," harapnya.


Komnas HAM, sebutnya juga sudah menegosiasikan dengan Kapolres setempat yang beberapa waktu kemudian mendatangi rumah duka untuk melepas 45 orang masyarakat yang ditahan dan disetujui  Kapolres, paling lambat minggu malam setelah menjalani proses verbal di Polres.


"Harus ada langkah saintifik yang ditempuh kepolisian, sehingga ada hasil pengujian ilmiah terkait perjalanan peluru di ruang udara dari senjata api pada sasaran tertentu, dalam hal ini terhadap korban," pinta Dedi.


Uji balistik, sebutnya sangat penting dilakukan untuk membandingkan anak peluru yang di temukan di TKP, dengan anak peluru pada senjata yang dicurigai. Dari sana akan ditemukan siapa pelaku penembakan dan dari jarak tembak berapa pelaku melepaskan tembakan. 


"Jika Kapolda Sulteng mengambil langkah uji balistik atas proyektil dan senjata-senjata yang dicurigai digunakan, yang benar-benar jangan sampai terlupakan oleh Pak Kapolda untuk memerintahkan anggotanya untuk mengambil sisa pembakaran berupa gas dan residu yang dikenal dalam dunia Balistik Forenshik Gunshoot reside (GSR) dimana partikel-partikel GSR dapat ditemui dipermukaan tangan dan pakaian pelaku atau disekitar sumber tembakan, sebab GSR ini hanya bisa bertahan lebih-kurang 6 jam saja," pungkasnya.