Bedah Aspek Kelayakan Wilayah Hingga Geopolitik Pemindahan Ibu Kota

The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) menggelar webinar seri 3 membahas rencana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Paser, Kalimantan Timur pada Senin (2/8). Ada sejumlah pakar dihadirkan untuk membedah aspek kelayakan wilayah hingga geopolitiknya.


Desain Istana Kepresidenan di Ibu Kota baru. Foto: IST

JAKARTA- Beberapa pakar yang dihadirkan itu antara lain Direktur Eksekutif Centre for Business and Diplomatic Studies (CBDS) Universitas Bina Nusantara Prof Tirta Mursitama, Kepala Pusat Penelitian Kewilayahan (P2W) LIPI Ganewati Wuryandari dan Pengamat Tata Perkotaan Yayat Supriatna.

Dari perpektif Prof Tirta Mursitama, pemindahan Ibu Kota Negara adalah proyek mercusuar. Sebagaimana lazim terjadi di setiap periode presiden, proyek semacam ini selalu mengundang perdebatan sengit atau pro-kontra.

Tapi ia meyakini, proyek mercusuar tersebut dalam jangka panjang pada akhirnya akan memberikan dampak positif terutama bagi generasi selanjutnya.

“Itu akan menjadi berkah bagi para generasi selanjutnya ketika pembangunan ibu kota negara di Kalimantan selesai,” ujar Prof Tirta.

Direktur Eksekutif CBDS Universitas Bina Nusantara ini menambahkan, pemindahan Ibu Kota Negara merupakan sepenuhnya urusan domestik Indonesia. Sehingga tidak perlu dorongan atau intervensi dari negara lain.

“Tanpa dikomen oleh negara lain kita sudah jalan,” lanjutnya.

Sementara dalam sudut pandang LIPI, yang diwakili Ganewati Wuryandari menilai pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan perlu memperhatikan fasilitas keamanan negara. Menurutnya, Ibu Kota baru yang akan dibangun di Kalimantan harus siap menghadapi ancaman dari eksternal maupun internal. Apalagi, letaknya semakin dekat dengan negara tetangga,

"Ketidakjelasan batas negara dengan Malaysia, Filipina dan negara lainnya akan membuat potensi konflik,” kata Ganewati.

Hitungannya, pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan secara wilayah mengakibatkan Ibu Kota Negara yang baru akan lebih terbuka. Sehingga akan meningkatkan ancaman dari luar, apabila tidak diiringi dengan kesiapan dari aspek pertahanan dan keamanan.

“Kekuatan militer yang semula berpusat pada Angkatan Darat akan mengalami perubahan ke Angkatan Laut dan Udara akan lebih berimbang karena lokasi ibu ktoa negara baru yang lebih terbuka,” sambungnya.

Sementara Yayat Supriatna menekankan pentingnya kajian yang mendalam dalam proses tata kota pembangunan Ibu Kota Negara baru. Pengamat Perkotaan ini menilaibpembangunan infrastruktur yangvdilakukan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomi akan sangat merugikan.

“Jangan sampai pembpangunan infrastruktur di Ibu Kota baru di Kalimantan dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor ekonomi karena akan sangat merugikan," tutur Yayat.

Ia berpesan agar perencanaan wilayah Ibu Kota Baru harus mempertimbangkan kota-kota disekitarnya agar kontra produktif terhadap perkembangan Ibu Kota dalam jangka panjang.

“Aksesibilitas yang mudah dan cepat dengan dengan kota utama akan menyebabkan perkembangan kawasan Ibu Kota Negara baru akan lebih lambat berkembang akibat keterbatasan fasilitas dan utilitas,” pungkasnya.

Animo peserta dalan webinar ini cukup tinggi. Peningkatan animo ini terjadi menyusul dikeluarkannya statement dari Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang menilai Jakarta akan tenggelam 10 tahun lagi.