Gugat Pemilu 2024, Penyelenggara: Berat & Tak Layak 

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (9/6) siang. 


Ketua Panel Hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra dalam sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (9/6) siang. FOTO: MKRI



JAKARTA - Pemohonnya adalah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Pemilu 2019 lalu. 

Pertama, Akhid Kurniawan. Dia adalah KPPS di TPS No. 024, Kelurahan Wirokerten, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. 

Dari PPK, ada Dimas Permana Hadi dari Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Slemen, DI Yogyakarta. Lalu Heri Darmawan dari Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.

Terakhir, adalah Subur Makmur sebagai PPS di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok, Jawa Barat.

Kuasa hukum para pemohon ini adalah Kahfi Adlan Hafiz. Ia memaparkan beban kerja para Pemohon sebagai penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, PPK, dan PPS.

“Sangat berat, tidak rasional, dan tidak layak,” kata Kahfi dalam sidang, Rabu (9/6).

Pasalnya, Pemilu 2024 yang akan digelar secara serentak itu punya lima jenis surat suara dalam waktu yang bersamaan yakni Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Menurut pemohon I, Akhid Kurniawan selaku petugas KPPS, penyelenggaraan pemilu, tidak hanya dilaksanakan pada hari H pemungutan suara saja.

Mereka sudah mulai bertugas paling tidak sejak H-3 sebelum hari pemungutan suara. Pekerjaan dan aktifitas yang dilakukan mulai dari proses penerimaan dan pengamanan logisitik pemilu, dan membangun lokasi TPS.

Pada hari berikutnya, langsung secara berturut-turut menyelenggarakan pemungutan dan penghitungan suara untuk lima jenis surat suara sekaligus.

Persoalan konstitusional yang diajukan oleh para Pemohon ke Mahkamah, berkaitan langsung dengan kedudukan para Pemohon sebagai penyelenggara Pemilu 2019.

Meskipun berat, Para  Pemohon bertekad akan kembali berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu baik di level KPPS, PPK, PPS dan Pemilu 2024.

Namun, mereka berharap agar penyelenggaraan pemilu bisa berjalan sesuai dengan daulat rakyat, jujur, adil, serta beban kerja penyelenggara pemilu bisa lebih rasional, layak, dan manusiawi.

Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 16/PUU-XIX/2021 ini menguji Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu.

Dalam sidang itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyoroti kerugian konstitusional yang disebutkan Pemohon. Ketua Panel Hakim MK ini meminta agar pemohon menyebutkan hak-hak apa saja yang dirugikan berdasarkan UUD.

“Harus merujuk ketentuan dalam UUD 1945, harus dicantumkan pasal-pasalnya. Agar kami melihat apakah benar ada kerugian hak konstitusional,” ujar Saldi.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih juga memberi nasehat. Ia meminta Pemohon menyebutkan pasal-pasal yang diuji dalam bagian “perihal” permohonan. Tujuannya untuk memudahkan orang mengetahui pasal-pasal yang diuji dan diinginkan para Pemohon.

Ia juga menyarankan agar dibuat singkat saja, tidak terlalu panjang. Selain itu, Enny meminta uraian yang bersifat naratif pada bagian kedudukan hukum di bagian Kewenangan Mahkamah.

Selanjutnya Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mempertanyakan kerugian konstitusional para Pemohon apakah hanya sebatas persoalan beban kerja. “Apakah ada sudut lain yang menjadi kerugian konstitusional para Pemohon,” kata Manahan. (*)