Sidang Formil UU CK, KSPI: Pemerintah & DPR Gak Nyambung

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) semakin yakin UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (CK) cacat formil.


Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membuka Sidang perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, di Ruang Sidang MK Senin (18/01). FOTO: MKRI

JAKARTA - Kesimpulan itu diambil KSPI setelah mendengar penjelasan pemerintah dan DPR dalam sidang formil UU CK di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (17/6) lalu.

Presiden KSPI Said Iqbal melihat berbagai isu yang dipersoalkan pemohon, yakni anggota KSPI Riden Hatam Azis dkk, tidak mampu dijawab oleh DPR dan Pemerintah. Bahkan cenderung mengada ada dan buang badan dari pertanggung jawaban kepada buruh dan rakyat indonesia.

Semua dalil, argumentasi, dan bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 itu, sebutnya tidak satu pun yang dibantah oleh DPR dan Pemerintah didalam persidangan.

"Antara isi gugatan yang diajukan pemohon dengan penjelasan pemerintah dan DPR tidak nyambung," sindir Said Iqbal, Sabtu (19/6)

Menurutnya, tidak adanya bantahan dari DPR dan Pemerintah maka secara ‘a contrario’ dapat dimaknai bahwa Pembentuk Undang-Undang, yaitu pemerintah dan DPR, mengakui UU CK cacat formil.

Karena dibentuk dengan tata cara dan prosedur yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Oleh karena itu, KSPI meminta hakim MK untuk menolak penjelasan dan jawaban pemerintah dan DPR tersebut, serta meminta hakim MK untuk mengabulkan seluruh gugatan pemohon yaitu membatalkan keseluruhan isi pasal pasal UU Ciptaker tersebut. "Karena cacat formil dalam perencanaan dan proses pembuatannya," sambungnya.

Ia menambahkan, jika merujuk Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011, jika satu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang lain, maka hal itu berarti bertentangan dengan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

"Oleh karenanya, harus pula dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum," pungkas Said Iqbal. (AL)