Aksara Asli Jadi Piranti Pertahanan Serangan Digital

Di era digital, keamanan data merupakan isu paling krusial. Setiap negara berlomba membuat proteksi yang kokoh untuk melindungi data-data mereka.


Ilustrasi bahasa pemograman yang menggunakan aksara Jawa. FOTO: IST

    Rumusan Presiden Soekarno tentang kedaulatan dan masa depan Indonesia banyak dilatari oleh kebudayaan. Ini dapat kita amati dari Pancasila dan Trisakti. Bahasa dan aksara asli merupakan unsur paling dasar dalam kebudayaan Indonesia. 

    Oleh karena itu, untuk membangun ketahanan digital bangsa ini, kita memerlukan metode pengamanan yang tidak dimiliki bangsa lain. Bahasa dan aksara asli dapat dijadikan piranti untuk memperkokoh “serangan digital” dari negara lain. 

    Penggagas negara ini telah merumuskan bentuk dan corak ideal untuk masa depan Indonesia. Soekarno telah merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan puncak gagasan intelektual dari presiden pertama kita. Karena dipandang relevan dengan berbagai zaman, Pancasila terus digunakan hingga sekarang sebagai landasan ideologi negara. Presiden Soekarno juga pernah menyampaikan sebuah gagasan yang kita kenal sebagai Trisakti. 

    Kedua rumusan di atas, yaitu Pancasila dan Trisakti, dilatari oleh berbagai unsur yang memperkokoh terbentuknya negara ini. Soekarno tentu saja membaca banyak teori tentang negara dan ia sering menyampaikannya dalam berbagai pidato. 

    Tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya pergerakan kebangsaan Indonesia didorong oleh faktor-faktor budaya yang di dalamnya terdapat bahasa dan aksara. Perihal kebudayaan juga muncul dalam gagasan Trisakti, yaitu 'berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan'. 

    Meskipun rumusan Soekarno tersebut merupakan konsep brilian, kenyataannya bangsa kita belum sepenuhnya dapat melaksanakan gagasan tersebut. Salah satu kendalanya kita sulit mengejawantahkan rumusan besar ke dalam perilaku nyata yang lebih terperinci. 

    Kita sangat sering mendengar ungkapan bahwa bangsa Indonesia memiliki budaya yang sangat kaya, tetapi bukti-bukti kekayaan tersebut jarang sekali ditelusuri dan dikembangkan sebagai suatu identitas. 

    Wawasan masyarakat terhadap budaya umumnya hanya pada hal-hal yang tampak saja seperti kesenian dan upacara-upacara adat. Penggalian nilai budaya yang lebih mendalam tidak banyak dilakukan, padahal ini merupakan dasar menuju peradaban baru di masa kini dan mendatang. 

    Indonesia dibentuk oleh keragaman unsur budaya dari berbagai etnis. Karena itu muncullah istilah persatuan dan bineka tunggal ika. Namun, terkadang kebinekaan yang kita gaungkan itu sebatas slogan untuk memupuk semangat kebangsaan. 

    Di sisi lain, pemeliharaan dan pengembangan elemen kebinekaan masih terbilang rendah. Hal ini dapat kita amati dari berbagai kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah, juga respons sebagian besar masyarakat yang masih memandang sebelah mata pada bidang kebudayaan. 

    Di pemerintahan, bidang kebudayaan sulit untuk berdiri sendiri. Selain di Provinsi Bali dan Yogyakarta, kebudayaan selalu menempel pada bidang lain seperti pendidikan, pariwasata, bahkan olahraga.  

    Dengan demikian, secara umum bidang kebudayaan di Indonesia belum bisa berdaulat. Memang tidak mudah memelihara keragaman budaya di negara yang dihimpun oleh banyak pulau, suku bangsa, dan bahasa. 

    Apalagi di tengah persoalan global belakangan ini. Tapi jika tidak digerakkan dari sekarang, lama-lama unsur penting bangsa ini bakal tergerus karena anak-anak muda kehilangan jejak peradaban di masa lalu. 

    Bahasa dan Aksara Asli Indonesia 


    Bahasa merupakan representasi kebudayaan, sedangkan aksara sebagai media ekspresi dari bahasa tersebut. Keduanya memiliki peranan yang sangat penting dalam kebudayaan. 

    Bahasa bukan semata-mata alat komunikasi, melainkan menunjukkan identifikasi suatu komunitas masyarakat serta membawa nilai-nilai etika dan sistem pengetahuan. Oleh karena itu, untuk membangun kepribadian dalam kebudayaan sebagaimana gagasan Soekarno, kita tidak akan lepas dari bahasa dan aksara.  

    Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bangsa kita juga memiliki ratusan bahasa daerah, atau menurut istilah UNESCO disebut indigenous language (bahasa asli). Dalam hal bahasa asli, Indonesia merupakan negara kedua terbanyak setelah Papua Nugini. 

    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2021) mencatat ada 718 bahasa yang digunakan di wilayah Indonesia dan sudah terpetakan. Selain bahasa, kita juga sudah mengidentifikasi belasan aksara asli Indonesia yang pernah digunakan oleh nenek moyang untuk menyampaikan ragam pengetahuan. 

    Obyek pemajuan kebudayaan menurut UU No. 5 Tahun 2017  tentang Pemajuan Kebudayaan. FOTO: IST

    Sayangnya, kita telah banyak kehilangan jejak sehingga yang bahasa asli kita sebut dari waktu ke waktu hanyalah berupa angka dan nama. Upaya untuk menggali peninggalan leluhur ini masih tersendat oleh berbagai kendala. 

    Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Adalah kesalahan besar jika kita mengabaikan bahasa dan aksara asli di Indonesia kian temaram, hanya menjadi arsip yang sulit dimaknai oleh generasi sekarang, apalagi oleh generasi mendatang. 

    Dasar hukum pemeliharaan dan pengembangan bahasa serta aksara memang sudah ada. Namun, belum banyak peraturan yang memerinci dasar hukum tersebut. Padahal ini sangat diperlukan untuk menjawab 'apa yang harus kita kerjakan dengan bahasa dan aksara asli Indonesia'. 

    Beberapa dasar hukum tersebut antara lain: 

    1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Pasal 32 ayat 2: “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan nasional.” 

    2. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Pasal 35—39 menyatakan bahwa bahasa daerah dapat digunakan penulisan karya ilmiah, penamaan geografi, informasi tentang produk barang atau jasa, rambu umum, penunjuk jalan, spanduk, dan media massa. 

    3. Dalam Politik Bahasa Nasional disebutkan bahwa bahasa daerah merupakan alat pengembang serta pendukung budaya daerah.  

    4. Butir ketiga Sumpah Pemuda adalah “Menjunjung Bahasa Persatuan Bahasa Indonesia”, dengan kata “menjunjung tinggi” dan bukan “mengakui” sebagaimana butir pertama dan kedua Sumpah Pemuda, yang berarti mengisyaratkan bahwa “Bahasa dan Sastra Daerah” yang merupakan kekayaan budaya bangsa tetap dipelihara dan dikembangkan oleh negara. 

    Di tingkat daerah yaitu provinsi dan kabupaten, banyak yang masih mengesampingkan dasar hukum ini. Perda atau peraturan kepala daerah tentang bahasa dan aksara juga sangat sedikit. 

    Pada masa pemerintahan Jokowi-JK telah disahkan sebuah undangundang yang sebenarnya dapat menguatkan peranan bahasa dan aksara asli. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan disebutkan bahwa bahasa dan aksara (manuskrip) merupakan bagian dari obyek pemajuan kebudayaan. 

    Hampir semua obyek kabudayaan tersebut dipengaruhi oleh bahasa. Misalnya, pengetahuan tradisional banyak ditulis dalam bahasa asli. Demikian pula kesenian, adat istiadat dan obyek lainnya, diungkapkan dalam bahasa asli. Ini menjadi bukti bahwa peranan bahasa dalam membangun kebudayaan sangatlah penting. 

    Masih menurut undang-undang tersebut, pemajuan kebudayaan dapat dilakukan melalui beberapa cara: 

    1. Perlindungan yang terdiri dari inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, publikasi. 

    2. Pengembangan    yang   terdiri    dari penyebarluasan, pengayaan, pengkajian. 

    3. Pemanfaatan yang terdiri dari membangun karakter, meningkatkan ketahanan budaya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta meningkatkan pengaruh Indonesia di dunia internasional. 

    4. Pembinaan yang terdiri dari pendidikan dan pelatihan, standadisasi dan sertifikasi sumber daya, peningkatan kapasitas tata kelola dan kelembagaan. 

    Meskipun kita telah memiliki dasar hukum di atas, kenyataannya bahasa dan aksara asli masih dihinggapi banyak persoalan. Hal ini karena umumnya pemangku kebijakan yang berkewajiban menjalankan undangundang, terutama di tingkat daerah, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang bisa ditonton. 

    Akhirnya banyak yang terjebak dalam pertunjukan kesenian, menjadikan budaya sebagai pariwisata, dan hal-hal lain yang bersifat gebyar. Padahal untuk membangun kepribadian dalam budaya, kita perlu menyerap nilai-nilai warisan leluhur yang bersifat universal dan dapat diterapkan pada berbagai situasi zaman. 

    Persoalan lainnya adalah keterbatasan data. Ketika negara lain sudah mematenkan bahasa dan aksara mereka baik di tingkat nasional maupun internasional, kita masih sibuk mengumpulkan nama-nama. 

    Akar Ketahanan Digital 


    Perang yang paling nyata di zaman ini adalah hal yang tidak kentara. Para ahli menyebutnya proxy war. Ini merupakan upaya penyerangan ke suatu negara yang tidak melibatkan militer, melainkan melalui berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah perangkat digital. Masyarakat banyak yang tidak menyadari hal ini karena mereka terlena oleh berbagai kegemaran yang dihasilkan dari perangkat digital. 

    Kita tahu bahwa hampir semua perangkat digital diciptakan oleh negara lain. Adalah benar bahwa Indonesia memiliki banyak programer dan kreator digital, tetapi bahan dasar yang mereka gunakan masih dibuat oleh bangsa lain. 

    Kita tidak bisa menghindari ini karena era digital merupakan keniscayaan. Juga butuh waktu agar bangsa kita bisa mencapai “kedaulatan digital” seperti halnya Tiongkok dan Rusia. 

    Namun, masih ada upaya agar kita dapat bertahan. Salah satunya melibatkan bahasa dan aksara asli Indonesia ke dalam jaringan digital. 

    Di era digital, keamanan data merupakan isu paling krusial. Setiap negara berlomba membuat proteksi yang kokoh untuk melindungi data-data mereka. 

    Bagaimanapun, untuk masa kini dan mendatang, kehidupan masyarakat di semua negara tidak akan lepas dari peranan alat digital. 

    "Setiap detik masyarakat menyuplai cerita ke berbagai server, menjadikannya sebuah big data dan para pakar dapat menganalisis itu untuk berbagai tujuan"


    Di bidang pemerintahan, istilah-istilah seperti egovernment dan smart city telah lama kita gaungkan. Bahkan rekapitulasi Pemilu pun tidak lagi menggunakan cara-cara manual dan ini memerlukan pengamanan ekstra. 

    Bukan suatu kemustahilan jika kita membuat metode pengamanan sandi dan enkripsi menggunakan bahasa dan aksara asli Indonesia. Generasi penerus dapat terus mengembangkannya, sehingga suatu saat negara kita bisa mencapai “kedaulatan digital”. 

    Penulis:

    Heru Nugroho

    Praktisi Budaya

    Dadan Sutisna 

    Pelaksana Harian Yayasan Rancage - Bandung