Simulasi Peta Koalisi & Kans Capres 2024
Pemberlakuan ambang batas presiden ini pada akhirnya akan membunuh talenta-talenta potensial
Jika kita berkaca pada dinamika politik pada dasarnya capres potensial itu sangat melimpah, kita tidak kekurangan tokoh yang layak dan punya kapasitas untuk menduduki kursi RI 1.
Analis Politik: Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting |
Pemberlakuan ambang batas presiden ini pada akhirnya akan membunuh talenta-talenta potensial dan menyisakan ruang permainan hanya berputar-putar pada permainan tingkat partai papan atas sebagai otoritas pemegang kendali pemberian "tiket" pencapresan pada siapa diinginkan melalui lobi-lobi politik belakang layar.
Publik hanya menjadi penonton dan dipaksa memilih pada pilihan yang terbatas. Kata kuncinya pada otoritas tiket partai, elektabilitas racikan elektoral yang tinggi seakan-akan tidak berguna.
Jika merujuk pada pemilu sebelumnya, sudah dapat dipastikan "otoritas tiket" hanya akan dimonopoli partai-partai papan atas, sehingga nama-nama yang berseliweran hari ini pada lembaga lembaga survei hanya akan menjadi hiasan di pemberitaan media dan akan hilang bahkan sebelum "pestanya" dimulai.
Rujukan iya, tapi belum tentu menjadi penentu seperti komentar Ketua Bappilu PDIP, Bambang Wuryanto, elektabilits bukan menjadi patokan dalam penentuan capres.
Saya ingin katakan begini, elektabilitas itu bukan kunci untuk mendapatkan "tiket" pencapresan, "silahkan Anies Baswedan tinggi elektabilitasnya, silahkan Ganjar Pranowo tinggi elektabilitasnya, silahkan Ridwan Kamil tinggi elektabilitasnya tapi tetap nama-nama yang bakal keluar dari saku kantong, mutlak pada partai yang menentukan.
Adanya president threshold 20 persen, elektabilitas dan popularitas terkadang tak punya korelasi linear terhadap proses pencapresan, kalau pun iya tapi tidak menjadi faktor mutlak, itu bisa jadi bonus. Saya pikir nanti akan ada juga capres kaget, publik terkaget bahkan bukan tidak mungkin nama-nama capres di luar cluster kepala daerah, menteri dan ketua umum parpol.
Oleh sebab itu, simulasi capres hanya akan berputar-putar pada partai-partai itu-itu saja yang bisa memenuhi PT, karena sistem pemilu sedikit membatasi ruang gerak capres potensial, semisal PDIP, Gerindra dan Golkar, sisanya gabungan partai papan tengah Itupun kalau tidak ada koalisi "gemuk" yang menggembosi partai papan tengah.
Kalau koalisi gemuk terjadi, kita sudah bisa tebak capres 2024 itu siapa saja, PDIP maunya siapa? Gerindra mau usung siapa? Golkar mau ikut dukung atau mau bikin poros alternatif sendiri? saya ingin katakan, sisanya nanti hanya akan mengikuti arus.
Sekali lagi, kalau aturannya sengaja didesain membatasi ruang gerang capres potensial lainnya, seperti pemilu yang sudah-sudah. Jadi kuncinya adalah siapa pemegang otoritas "pemberi tiket" Bukan soal tinggi rendahnya popularitas dan elektabilitas, ini hanya bonus jika dimiliki oleh kandidat tersebut, sisanya bisa dipoles secara sistematis oleh tim pemenangan.
Kalau kita menginginkan sesuatu yang baru dan pemilu 2024 lebih dinamis dan atraktif, menurut saya tidak ada jalan lain, presidensial threshold harus dihapuskan.
Perkiraaan saya bakal ada tiga poros nanti cukup potensial pada pilpres 2024. Poros pertama, koalisi PDIP-Gerindra-PKB dengan simulasi mengusung pasangan capres Prabowo Puan. Poros kedua, koalisi partai Nasdem-PKS-Demokrat dengan simulasi pasangan capres Anies-AHY.
Poros ketiga, koalisi alternatif partai Golkar-PPP-PAN dengan simulasi pasangan bisa nama-nama seperti Airlangga, Erick Tohir, terlepas dari partai mana yang nanti meminangnya menjadi capres termasuk nama Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno dan Ridwan Kamil.
Selanjutnya, spesies koalisi kita basis ada dua pendekatan. Pertama pendekatan match all party, koalisi berbasiskan personalistik, pragmatis dan populisme. Kedua pendekatan catch all party, koalisi platform berbasiskan ideologi.
Saya perhatikan koalisi kita selama ini lebih kuat DNA berbasiskan kekuasaan pragmatis ketimbang ideologis, selain memang makin cair sekat ideologis lintas parpol. Artinya, koalisi bukan berbasiskan ideologi, lebih menonjol basis pragmatisme politik.
Namun yang pasti, kita tetap harus mendorong lebih dari dua pasang calon presiden. Data hasil survei Voxpol Center juga menunjukkan sebesar 40,6 persen menginginkan pilpres 2024 diikuti lebih dari 2 (dua) pasang capres/cawapres.
Sebanyak mungkin capres alternatif, meskipun terbentur presidensial threshold 20 persen, jangan sampai terulang rematch pilpres bipolar, akibatnya keterbelahan publik makin menganga lukannya, karena ngak ada capres alternatif sebagai pemecah gelombang dua kutub tersebut.
Penulis: Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting
Posting Komentar