Pilpres 2024, PDIP Masih Musuhan Sama PKS & Demokrat?

Sudah seperti minyak dan air. Begitulah hubungan PDIP dengan Demokrat dan PKS saat ini. Tak bisa disatukan. Di tengah Pilpres 2024 yang mulai memanas, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto langsung kasih peringatan dini: jangan coba-coba jodohin Banteng dengan kedua partai itu. PDIP tak sudi kawin dengan keduanya. 

Ilustrasi. Foto: NET/email to www.times.id@gmail.com for credit


JAKARTA- Hasto terang-terangan menyampaikan hal itu dalam diskusi daring yang digelar Para Syndicate, Jumat (28/5). Selain Hasto, Sekjen PAN Eddy Soeparno juga ikut dihadirkan sebagai narasumber. Di luar parpol, ada peneliti senior CSIS J Kristiadi. Judul diskusinya: Membaca Dinamika Partai dan Soliditas Koalisi Menuju 2024.

Dijelaskan Hasto, adanya garis tegas antara PDIP dengan PKS dan Demokrat bukan karena jadi partai pemenang lalu sok-sokan dan enggan berkolaborasi. Menurutnya, semangat gotong-royong dengan berbagai pihak terus digelorakan. Khususnya di tengah kondisi sulit akibat pandemi Covid-19.

Terbukti, dengan partai lain di luar PKS dan Demokrat, PDIP masih cocok-cocok saja. Misalnya dengan PKB, PAN, PPP maupun Gerindra yang sama-sama eks rival 2 kali Pilpres lalu, Banteng masih oke.

Bahkan PAN yang kini masih berada di luar pemerintahan, hubungan dengan PDIP kini ternyata mesra banget. "Apalagi selama pak Amien Rais tak lagi di PAN, itu lebih cocok lagi...ha-ha-ha...," canda Hasto.

Begitupun dengan PKB. Keduanya kerap seiring-sejalan dalam sejumlah ajang kontestasi. Di Pilkada lalu, ada sekitar 101 kepala daerah yang diusung bersama partai dengan basis massa Nahdlatul Ulama (NU) itu.

"Kalau PKB dengan PDIP itu hanya beda bendera saja, basis masanya sama-sama NU," tambahnya.

PDIP juga bisa satu frekuensi dengan partai Islam lain: PPP contohnya. Bukan karena tetanggaan, lantaran kantornya bersebelahan di Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Tapi, kata Hasto, kedekatan partainya dengan PPP lebih karena pernah senasib ketika orde baru. Karena itu, ketika Megawati dijodohkan dengan tokoh partai Ka'bah Hamzah Haz, masih oke-oke saja.

Dengan Gerindra, PDIP juga mesra. Meskipun sudah dua kali Pilpres, kedua partai ini "baku hantam". Toh, belakangan ketegangan antara keduanya bisa mereda. Titik temunya, sebut Hasto adalah kesamaan ideologi.

Sikap PDIP yang pilih-pilih teman koalisi ini, jelas Hasto, karena yang dikejar PDIP bukan kepentingan elektoral semata. "Syarat-syarat koalisi itu harus ada kesamaan ideologi, ada cita-cita yang harus diperjuangkan bersama," tandasnya.

Sebab itu lah, PDIP sulit membangun koalisi dengan PKS dan Demokrat. Basis ideologi PDIP, kata Hasto berbeda dengan PKS. "Itu saya tegaskan sejak awal," tutur politisi kelahiran Yogyakarta, 54 tahun lalu ini.

Dengan Demokrat, PDIP juga disebut tak punya kecocokan. Karena, partai berlambang mercy itu disebut sebagai partai elektoral, sementara PDIP partai ideologi. Meskipun sama-sama bertumpu pada kekuatan massa.

Soal ini, Hasto mengaku sengaja blak-blakan. Agar tidak ada lagi mak comblang yang berusaha nyomblangin partainya dengan Demokrat atau PKS.

"Ini tegas-tegas saja, supaya tidak ada juru nikah yang ingin mempertemukan hal tersebut. Karena beda karakternya, beda nature-nya," tegasnya.

Ketua Bapilu Partai Demokrat Andi Arief panas mendengar ocehan Hasto tersebut. Dia juga mengaku tak sudi partainya berjodoh dengan PDIP. Bunuh diri, menurutnya Jika Demokrat berkoalisi dengan PDIP.

"Di tengah ketidakpuasan atas pemerintah yang sudah meluas, tentu kerugian besar jika Demokrat ikut dalam koalisi PDIP. Sama juga dengan bunuh diri politik. Kami memilih cara dengan cermat dan menghitung banyak aspek," tegasnya, kemarin.

Lalu, apakah Demokrat juga menutup pintu kerja sama politik dengan PDIP?

Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan partainya terbuka untuk berkoalisi dengan semua parpol. "Tapi partai yang benar-benar serius memperjuangkan nasib rakyat. Karena kami berkoalisi dengan rakyat. Parpol mana saja oke," kata Herzaky, ketika dikontak.

Namun, ia enggan memberi penilaian ketika ditanya bagaimana Demokrat memandang PDIP. Hingga terjadi ketidakcocokan antara keduanya. Yang jelas, kata Herzaky, jika yang dipersoalkan adalah DNA, maka DNA Partai Demokrat adalah nasionalis regilius. Disebut Nasionalis, karena partainya menjunjung tinggi Pancasila, NKRI harga mati dan Bhinneka Tungga Ika.

Sementara alasan kenapa berplatfotm religius, sambungnya, karena mayoritas rakyat Indonesia religius. Sikap religius ini ada sambungannya dengan sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

"Sehingga kalau ada yang merasa tidak cocok dengan kami ya mungkin platformnya beda. Tidak menjunjung tinggi Pancasila, NKRI harga mati dan Bhinneka Tunggal Ika. Istilahnya, juga tidak merasa agenda religius patut dipertahankan menjadi hal yang utama di Indonesia," sentilnya.

Karena itu, partainya cuma akan bekerja sama dengan partai yang punya komitmen menjadikan Pancasila sebagai dasar perjuangannya. "Bukan yang hanya menjual jargon Pancasila, tapi malah sibuk korupsi di saat rakyat sedang susah," sindir Herzaky.

Lalu bagaimana respons PKS?

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengaku tidak masalah jika partainya disebut tidak cocok dengan PDIP. Justru omongan Sekjen Hasto bagus untuk memacu adrenalin kadernya. Menurutnya kontestasi 2024 bukan sekedar pertarungan dalam kerangka ideologis, akan tetapi kompetisi karya dan gagasan.

"Dengan sikap #KamiOposisi yang kokoh insyaallah PKS dapat menjadi partai alternatif," kata Mardani kepada wartawan, kemarin.

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Maswadi Rauf melihat tidak cocoknya antara PDIP dengan Demokrat menunjukkan bahwa permusuhan antara keduanya, dalam hal ini SBY dan Mega belum selesai. Umumnya, jelas dia di dalam politik tidak ada musuh abadi. Begitupula teman.

"Itu tidak sehat untuk perkembangan partai politik," kata Maswadi, dalam perbincangan Jumat (28/5) malam.

Sementara ketidakcocokan dengan PKS, menurutnya dipicu oleh sikap partai yang konsisten di jalur oposisi. Maswandi berpandangan, tidak ada sambungannya jika ideologi Islam yang diusung PKS, jadi biang kerok ketidakcocokan dengan PDIP. Sebab partai Banteng itu juga diperkuat oleh tokoh-tokoh Islam di dalamnya. "Orang di situ (PDIP) ada Baitul Muslimin kok," sebutnya.

Ia berharap tokoh partai tidak melakukan dikotomi-dikotomi atas perbedaan pandangan antar sesama partai. Kuncinya agar semua partai bisa akur, nilai Maswadi ada di tataran pimpinan masing-masing. "Orang liberal aja tidak begitu. Kok orang Pancasilais demikian," ingatnya.

Maswadi mengingatkan. dari pengalaman sejumlah kontestasi politik, menunjukkan bahwa bukan peran partai yang paling menentukan. Akan tetapi tokoh. Karena itu, ia menyarankan agar setiap partai membuka diri kepada siapa saja untuk berpasangan.

Menengok Pilkada lalu, meskipun di pusat ada ketidakcocokan antara PDIP dengan PKS dan Demokrat, relasi ketiga partai ini sebetulnya lebih cair di daerah.

PDIP dengan Demokrat misalnya. Ada 18 pasang kepala daerah yang melibatkan koalisi kedua partai tersebut. Sementara dengan PKS, PDIP juga bisa menyatu dalam koalisi 13 pasang kepala daerah. (*)