Respons Fadjroel & Ngabalin Setelah 'Warning' Moeldoko

Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko menegaskan hanya 3 orang yang pernyataannya boleh dikutip mewakili istana. Bahkan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman dan Tenaga Ahli Utama KSP yang biasa jadi corong Istana, tak disebut. Lalu bagaimana nasib mereka?


Ilustrasi Times ID

JAKARTA - Ketiga orang yang boleh bicara mewakili Istana itu, menurut Moeldoko adalah Mensesneg Pratikno, Menseskab Pramono Anung dan dirinya.

Akan tetapi, Tenaga Ahli Utama  (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengaku tak pernah dilarang berbicara atas nama Istana. Semua masih normal-normal saja sampai saat ini. 

Ngabalin mengaku belum ada perintah untuk bungkam. Apalagi, ia merasa belum pernah melakukan kesalahan. "Selama ini alhamdulillah, kan tidak ada salah ngomong saya kan," kata Ngabalin saat dikonfirmasi, kemarin.

Jika pun, suatu waktu ia salah bicara, menurutnya masih ada sumber lain dengan tingkatan yang lebih shahih di atasnya bisa melakukan klarifikasi. Yakni Kepala KSP Moeldoko.

Ia menjelaskan, KSP adalah delivery unit kerja presiden. Yang kedudukannya adalah sebagai mediator. Untuk memfasilitasi semua urusan-urusan pemerintah dengan masyarakat yang tersumbat.

Sehingga adalah tugasnya, sebagai salah satu Tenaga Ahli Utama KSP untuk menyalurkan informasi penting dari kerja-kerja Presiden dan Pemerintah. "Sama sekali kami tidak dihalangi untuk bicara," ungkapnya. "Kalau mengambil peran itu tidak mungkin tidak ngomong ke wartawan," sambung dia.

Tapi apa pernyataannya masih boleh mewakili atas nama Istana?

Menurut Ngabalin, tidak tertutup kemungkinan. Masih sama seperti sebelumnya. "Kalau nanti umpama ada hal-hal penting dari presiden harus disampaikan atas izin Kepala Kantor Staf Presiden dalam hal ini Pak Moeldoko, tidak masalah. Normal saja itu, seperti biasa," jelasnya.

Eks Anggota Komisi I DPR periode 2004-2009 itu mengatakan, apa yang disampaikan Moeldoko adalah langkah preventif. Agar, jika ada kesalahan komunikasi di lingkungan Ring 1 itu, masih bisa diklarifikasi. "Bisa dibetulkan oleh Pak Praktik, Pak Pramono dan Pak Moeldoko," ucapnya.

Ngabalin juga membantah isu adanya evaluasi internal terkait komunikasi istana. Yang ada, ungkapnya sistem komunikasi baru sedang dibangun oleh Pemerintah.

"Diharapkan Kementerian, lembaga, humas, dan juru bicara itu bisa merepresentasikan kementerian dan lembaga untuk atas nama pemerintah dan klaster yang ada. Seperti di Undang-undang Cipta Kerja itu," tuturnya.

Sementara, Jubir Kepresidenan Fadjroel Rachman mengamini pernyataan Moeldoko. Bahwa hanya 3 orang yang pernyataannya bisa mewakili Istana. Jubir, tidak.

"Betul yang disampaikan Pak Moeldoko @KSPgoid. Karena TUPOKSI saya sebagai SKP bidang komunikasi/@JubirPresidenRI hanya menyampaikan/mengkomunikasikan/menjabarkan arahan/pidato/kebijakan Presiden @jokowi kepada publik (audience)," cuit Fadjroel di akun Twitter @fadjroeL merespons cuitan wartawan senior Uni Lubis di akun @unilubis.

Soal siapa yang berhak bicara mewakili istana, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengaku tidak ada aturan spesifik.

"Itu sangat bergantung pada policy-nya Presiden. Secara konvensional sih Mensesneg. Dialah yang harusnya berbicara seluruh policynya Presiden," kata Margarito, yang juga pernah bercokol di Istana sebagai Staf Khusus Mensesneg tahun 2006-2007 itu.

Namun, ia menangkap ucapan Moeldoko tersebut sebagai sinyal bahwa hanya pernyataan Moeldoko, Pramono dan Pratikno yang resmi mewakili Istana. Selebihnya tak dianggap.

"Karena Pak Moeldoko sendiri sudah menyatakan seperti itu. Yang lain itu tidak boleh dianggap sebagai pernyataan resmi," nilainya.

Jika sudah tak dianggap, lalu buat apa jabatan Jubir Presiden itu?

"Tidak ada faedah. Memang harusnya dibubarin jabatan Jubir itu, karena tidak bisa bicara lagi kan. Juga mau bicara apa lagi," tandasnya.

Pengamat Komunikasi Politik Ujang Komarudin seirama dengan Margarito. Menurutnya, fungsi Jubir Presiden saat ini memang tidak jelas. Apalagi dengan kerap blundernya pernyataan dari orang-orang di lingkaran Istana.

Meskipun komunikasi di Istana tambah runyam, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review menduga Jubir Presiden dan jabatan-jabatan serupa di Istana tidak akan dibubarkan. Hanya dilumpuhkan saja.

"Karena itu kan akomodasi politik. Kalau dibubarkan mereka akan nganggur dan marah," pungkasnya.