Kembali ke Sistem Pemilu Proporsional Tertutup adalah Kemunduran Demokrasi
Pengalaman masa lalu, sistem tertutup bikin partai jadi elitis
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu, untuk mengembalikan sistem pemilihan propoporsional terbuka kembali ke sistem proporsional tertutup, bukanlah solusi tepat jika alasannya adalah untuk penguatan kelembagaan partai politik.
KARENA untuk penguatan kelembagaan harusnya diserahkan pada mekanisme partai masing-masing untuk membangun sistem rekruitmen dan kaderisasi yang baik, sehingga walaupun ada pertarungan bebas individu dalam sistem proporsional terbuka, paling tidak individu ini merupakan hasil rekrutmen dan melewati sistem kaderisasi partai.
Dengan adanya proporsional tertutup justru berpotensi melemahkan semangat seseorang untuk masuk dalam kontestasi pemilu. Karena individu tidak terlihat sebagai aktor yang tengah berkontestasi, khususnya politisi muda yang punya ide dan gagasan yang baik serta ingin mengembangkan kapasitasnya. Mereka akan dihadapkan pada tembok stuktural partai.
Sistem proporsional tertutup membuat rakyat sebagai pemilik suara penuh dalam pemilu tidak bisa menilai akuntabilitas anggota parlemen yang sudah duduk di parlemen, walaupun kinerja anggota parlemen itu buruk masih sangat besar potensinya untuk terpilih kembali di pemilu selanjutnya, selama anggota parlemen itu masih memiliki pengaruh kuat dalam partai maka dia akan tetap akan diusulkan partai sebagai pemegang kursi.
Dan ini terbukti ketika orde baru banyak politisisi yang lama melanggeng di parlemen walaupun kinerjanya tidak jelas,berbeda dengan sistem proporsional terbuka membuat kesempatan rakyat untuk menilai anggota parlemen, dengan demikian akan memacu para anggota parlemen untuk bekerja dengan serius karena ada kontrol dari publik, apalagi saat ini banyak medium yang bisa digunakan masyarakat untuk melihat dan mengontrol anggota parlemen, seperti media sosial.
Jadi proporsional tertutup ini tidak bersenyawa dengan arus demokrasi saat ini yang serba terbuka, justru itu menunjukkan sebuah kemunduran.
Kalau dalam kontestasi jabatan stuktural partai, boleh saja melihat pada kemapanan seseorang kader dalam partai, namun kalau dalam ranah jabatan publik seharusnya sistem yang terbangun adalah meristokrasi dan egaliteralisme.
Semuanya punya hak untuk berkompetisi karena yang menjadi substansi pertarungan adalah soal ide dan gagasan. Kita sudah pernah menerapkan sistem proporsional tertutup dan hasilnya tidaklah lebih baik ketimbang sistem proporsional terbuka seperti saat ini.
Justru pengalaman masa lalu menggambarkan sistem kepartaian yang elitis karena jarang menampilkan figur kader ke publik, karena sistem proporsional tertutup secara otomatis tidak memberikan ruang kepada seluruh calon anggota parlemen untuk tampil ke publik menawarkan buah pikiran dan gagasanya, karena sistem ini hanya memungkinkan untuk memilih partai bukan individu.
Penulis
Apdal Ghifari |
Dengan adanya proporsional tertutup justru berpotensi melemahkan semangat seseorang untuk masuk dalam kontestasi pemilu. Karena individu tidak terlihat sebagai aktor yang tengah berkontestasi, khususnya politisi muda yang punya ide dan gagasan yang baik serta ingin mengembangkan kapasitasnya. Mereka akan dihadapkan pada tembok stuktural partai.
Sistem proporsional tertutup membuat rakyat sebagai pemilik suara penuh dalam pemilu tidak bisa menilai akuntabilitas anggota parlemen yang sudah duduk di parlemen, walaupun kinerja anggota parlemen itu buruk masih sangat besar potensinya untuk terpilih kembali di pemilu selanjutnya, selama anggota parlemen itu masih memiliki pengaruh kuat dalam partai maka dia akan tetap akan diusulkan partai sebagai pemegang kursi.
Dan ini terbukti ketika orde baru banyak politisisi yang lama melanggeng di parlemen walaupun kinerjanya tidak jelas,berbeda dengan sistem proporsional terbuka membuat kesempatan rakyat untuk menilai anggota parlemen, dengan demikian akan memacu para anggota parlemen untuk bekerja dengan serius karena ada kontrol dari publik, apalagi saat ini banyak medium yang bisa digunakan masyarakat untuk melihat dan mengontrol anggota parlemen, seperti media sosial.
Jadi proporsional tertutup ini tidak bersenyawa dengan arus demokrasi saat ini yang serba terbuka, justru itu menunjukkan sebuah kemunduran.
Kalau dalam kontestasi jabatan stuktural partai, boleh saja melihat pada kemapanan seseorang kader dalam partai, namun kalau dalam ranah jabatan publik seharusnya sistem yang terbangun adalah meristokrasi dan egaliteralisme.
Semuanya punya hak untuk berkompetisi karena yang menjadi substansi pertarungan adalah soal ide dan gagasan. Kita sudah pernah menerapkan sistem proporsional tertutup dan hasilnya tidaklah lebih baik ketimbang sistem proporsional terbuka seperti saat ini.
Justru pengalaman masa lalu menggambarkan sistem kepartaian yang elitis karena jarang menampilkan figur kader ke publik, karena sistem proporsional tertutup secara otomatis tidak memberikan ruang kepada seluruh calon anggota parlemen untuk tampil ke publik menawarkan buah pikiran dan gagasanya, karena sistem ini hanya memungkinkan untuk memilih partai bukan individu.
Penulis
Apdal Ghifari,
Direktur Rumah Narasi Indonesia (RNI)
Posting Komentar