Pendaftar Aplikasi MyPertamina Masih Banyak Ditolak, Karena Foto STNK atau KTP Pendaftar Tak Singkron
Sudah 2,8 juta kendaraan terdaftar di aplikasi MyPertamina
Pemerintah sejak 3 September 2022 lalu menetapkan harga baru Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi dengan alasan beban APBN terus membengkak. Untuk itu pemerintah menugaskan PT Pertamina (Persero) untuk mengatur konsumsi BBM dengan cara pengguna mendaftar melalui aplikasi my pertamina.
JAKARTA - VP Sales Support PT Pertamina Patra Niaga Zibali Hisbul Masih memaparkan hingga saat ini tercatat sudah 2.872.924 kendaraan mendaftar melalui aplikasi My Pertamina.
"Sampai dengan hari kemarin yang sudah mendaftar ini sekitar 2,8 juta, angka ini hanya 8,8 persen, di mana dari yang mendaftar 65 persen diterima dalam artian mendapatkan QR code, sementara ada juga yang belum diterima," Papar Zibali dalam acara diskusi media Forum Monitor dengan tema “Pengaturan BBM Subsidi untuk Keadilan Masyarakat, Sudah Tepatkah?', di Jakarta, Kamis (13/10).
Zibali menambahkan, hingga saat ini pendaftar terus bertambah, akan tetapi masih banyak yang belum diterima. Salah satu faktornya yaitu tidak terbacanya foto STNK atau KTP pendaftar.
"Kemudian antara foto roda kendaraan tidak sinkron dan juga foto nopol kendaraan tidak sesuai," tambahnya.
Sementara itu, terkait dengan beredarnya isu menurunnya kualitas BBM terutama jenis pertalite, Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman menjelaskan, pihaknya telah melakukan pengecekan langsung ke kilang Pertamina yang memproduksi satu-satunya jenis BBM bersubsidi.
"Kita sudah mengecek ke Pertamina juga, dan kualitas di kilang, dan kualitas produk yang dijual di Indonesia itu tetap sama," ujar Saleh.
Hasil pengecekan BPH Migas, lanjut Saleh, sesuai dengan klarifikasi sebelumnya telah disampaikan pihak Pertamina yang menyatakan kualitas Pertalite tak pernah berubah.
"Sudah diklarifikasi oleh pertamina sebenarnya dan sudah clear, bahwa kualitas Pertalite yang dijual setahun lalu, 6 bulan lalu, hari ini itu sama," sambungnya.
"Prinsipnya, tidak mungkin Pertamina mengeluarkan produk yang tidak sesuai ketentuan. Itu sudah diatur di Keputusan Dirjen Migas tentang Standar Kualitas Jenis-jenis BBM yang boleh beredar di Indonesia," ucapnya.
Maka dari itu, apabila muncul isu yang menyebutkan bahwa konsumen Pertamina yang membeli Pertalite untuk kendaraan bermotornya, dan setelah dipakai dirasa cepat habis, hanya karena sugesti kenaikan harga yang kini berlaku Rp 10.000 per liter.
"Kalau kemarin kita ngisi seratus ribu dapatnya lebih banyak, tapi ketika harganya jadi Rp 10 ribu dapatnya lebih kecil, ya mungkin itu karena perbedaan harga itu," tuturnya.
"Dan kalau cepat habis itu standar pengujiannya bagaimana," demikian Saleh menegaskan.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno mengatakan persoalan BBM Subsidi selalu menjadi permasalahan karena kebijakan mensubsidi produk dinilai kurang tepat. Salah satunya seperti selalu adanya protes setiap kali ada kenaikan BBM Subsidi.
"Kita di DPR dan juga Pemerintah saat dihadapkan oleh demo masyarakat soal kenaikan BBM. Tentu kita menghargai dan menghormati itu sebagai hak masyarakat yang dilindungi institusi. Namun jika kita mau bijak (bukan berarti saya membela) seharusnya demo juga itu yang tidak berhak mengkonsumsi BBM subsidi," katanya saat menjadi narasumber diskusi Media Forum MONITOR, Kamis (13/10).
Pada kesempatan tersebut Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga mendesak pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Presiden (Perpres) 191 tahun 2014 terkait penyediaan, pendistribusian dan harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
"Dalam waktu dekat, Perpres 191 tahun 2014 ini harus segera direvisi, agar kita bisa mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan BBM subdidi ini. Sebab selama ini mereka tidak mengetahui ada tidaknya larangan atau aturan untuk menghentikan mereka, sehingga bagi mereka (yang tidak berhak) tidak lagi mengkonsumsi BBM subsidi," pintanya tegas.
VP Sales Support PT Pertamina Patra Niaga Zibali Hisbul Masih. FOTO: IST |
"Sampai dengan hari kemarin yang sudah mendaftar ini sekitar 2,8 juta, angka ini hanya 8,8 persen, di mana dari yang mendaftar 65 persen diterima dalam artian mendapatkan QR code, sementara ada juga yang belum diterima," Papar Zibali dalam acara diskusi media Forum Monitor dengan tema “Pengaturan BBM Subsidi untuk Keadilan Masyarakat, Sudah Tepatkah?', di Jakarta, Kamis (13/10).
Zibali menambahkan, hingga saat ini pendaftar terus bertambah, akan tetapi masih banyak yang belum diterima. Salah satu faktornya yaitu tidak terbacanya foto STNK atau KTP pendaftar.
"Kemudian antara foto roda kendaraan tidak sinkron dan juga foto nopol kendaraan tidak sesuai," tambahnya.
Sementara itu, terkait dengan beredarnya isu menurunnya kualitas BBM terutama jenis pertalite, Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman menjelaskan, pihaknya telah melakukan pengecekan langsung ke kilang Pertamina yang memproduksi satu-satunya jenis BBM bersubsidi.
"Kita sudah mengecek ke Pertamina juga, dan kualitas di kilang, dan kualitas produk yang dijual di Indonesia itu tetap sama," ujar Saleh.
Hasil pengecekan BPH Migas, lanjut Saleh, sesuai dengan klarifikasi sebelumnya telah disampaikan pihak Pertamina yang menyatakan kualitas Pertalite tak pernah berubah.
"Sudah diklarifikasi oleh pertamina sebenarnya dan sudah clear, bahwa kualitas Pertalite yang dijual setahun lalu, 6 bulan lalu, hari ini itu sama," sambungnya.
"Prinsipnya, tidak mungkin Pertamina mengeluarkan produk yang tidak sesuai ketentuan. Itu sudah diatur di Keputusan Dirjen Migas tentang Standar Kualitas Jenis-jenis BBM yang boleh beredar di Indonesia," ucapnya.
Maka dari itu, apabila muncul isu yang menyebutkan bahwa konsumen Pertamina yang membeli Pertalite untuk kendaraan bermotornya, dan setelah dipakai dirasa cepat habis, hanya karena sugesti kenaikan harga yang kini berlaku Rp 10.000 per liter.
"Kalau kemarin kita ngisi seratus ribu dapatnya lebih banyak, tapi ketika harganya jadi Rp 10 ribu dapatnya lebih kecil, ya mungkin itu karena perbedaan harga itu," tuturnya.
"Dan kalau cepat habis itu standar pengujiannya bagaimana," demikian Saleh menegaskan.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno mengatakan persoalan BBM Subsidi selalu menjadi permasalahan karena kebijakan mensubsidi produk dinilai kurang tepat. Salah satunya seperti selalu adanya protes setiap kali ada kenaikan BBM Subsidi.
"Kita di DPR dan juga Pemerintah saat dihadapkan oleh demo masyarakat soal kenaikan BBM. Tentu kita menghargai dan menghormati itu sebagai hak masyarakat yang dilindungi institusi. Namun jika kita mau bijak (bukan berarti saya membela) seharusnya demo juga itu yang tidak berhak mengkonsumsi BBM subsidi," katanya saat menjadi narasumber diskusi Media Forum MONITOR, Kamis (13/10).
Pada kesempatan tersebut Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga mendesak pemerintah untuk segera merevisi Peraturan Presiden (Perpres) 191 tahun 2014 terkait penyediaan, pendistribusian dan harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
"Dalam waktu dekat, Perpres 191 tahun 2014 ini harus segera direvisi, agar kita bisa mengetahui siapa saja yang berhak mendapatkan BBM subdidi ini. Sebab selama ini mereka tidak mengetahui ada tidaknya larangan atau aturan untuk menghentikan mereka, sehingga bagi mereka (yang tidak berhak) tidak lagi mengkonsumsi BBM subsidi," pintanya tegas.
Posting Komentar