KKR Aceh, Riwayatmu Kini...

Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) yang kehadirannya digadang-gadang dapat menyelesaikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh, nyaris tak terdengar lagi gaungnya. Bagaimana riwayatnya kini?

Sitti Uswatul Hasanah. ILUSTRASI: TIMES


SALAH satu yang disoal dari lembaga ini adalah legalitasnya. Sebelum lebih jauh, perlu diketahui bahwa Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang mendapatkan status Otonomi Khusus atau Otsus.


Pelaksanaan Otsus di Aceh diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang pemerintahan Aceh (UUPA).


Nah, legalitas dari UUPA merupakan bagian daripada politik hukum di Aceh. Tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat melalui kebijakan otonomi daerah secara umum. Politik hukum adalah salah satu bagiannya, dalam menentukan pilihan mengenai tujuan dan tata cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum tersebut.


Hadirnya lembaga KKR di Aceh merupakan salah satu unsur Keketatanegaraan, terkhusus di Aceh pasca konflik. Sebagai bentuk dari amanat MoU Helsinki. 


Tapi, KKR merupakan lembaga yang landasan kedudukan nya itu tidak berada di bawah perundang-undangan nasional tetapi berlandaskan UUPA, penjabaran dari MoU Helsinki. Secara kaidah hukum UUPA itu termasuk suatu kekhususan.


KKR adalah lembaga Ad Hoc. Itu artinya, apabila telah selesai peranan nya, maka lembaga tersebut bisa dibubarkan. 


Dewasa ini, keberadaan KKR ditanggap pro-kontra. Kelompok yang kontra memahami KKR tidak sah, karena dinilai tidak punya Undang-Undang di level nasional yang memayunginya. 


Sedangkan kelompok pro menjelaskan kedudukan KKRA tetap sah. Sebabnya, KKR adalah uraian dari hasil perjanjian MoU Helsinki.


Carut-marut nya kedudukan KKR Aceh hari ini, berdampak pada prospek kerja mereka. Ketidakjelasan landasan tersebut telah melambat penemuan hasil kerja. Seharusnya hasil identifikasi pelanggaran HAM sudah dilakukan jauh jauh hari. 


Tapi, karena pengaruh politik yang dominan dari kalangan elite membuat keberadaan KKR Aceh hanya sebatas formalitas belaka. Tidak ada subtansinya.


Penulis memahami, bahwa KKR Aceh itu bukan hanya bertugas melakukan pengungkapan tetapi juga rekonsiliasi total. Namun rekonsiliasi total itu tidak pernah bisa terwujud bila peran politik elite itu terlalu ingin menguasai impunitas. 


Dari jabaran ini, bisa dilihat pula sebenarnya kedudukan KKR Aceh ini sangat utuh dalam ketetanegaraan Indonesia. Karena keberadaannya berdasarkan sebuah perjanjian yang melibatkan pihak internasional. 


Setelah 14 tahun berlalu, jangankan KKR Aceh, UUPA pun semakin melemah peranan nya. Untuk menguatkan pelaksanaan seluruh perjanjian yang telah disepakati.


Dalam ketatanegaraan hukum Indonesia, pasca reformasi disetujui bahwa hukum itu adalah panglima. Tetapi secara realita, panglima itu terus menerus tergerus oleh sikap prajurit politiknya. 


Melihat perkembangan hingga saat ini ,KKR masih melaksanakan statement taking, dari pihak korban untuk dipublikasikan pada jadwal yang telah ditentukan. 


Tetapi secara subtansi, rekonsiliasi pengungkapan saja tidak akan cukup tanpa diiringi permintaan maaf dari pihak pelaku. Dampak yang paling signifikan terhadap ketatanegaraan sebuah negara pasca situasi perang adalah pengakuan kesalahan dari negara yang dilakukan oleh setiap aparaturnya dihadapan korban.


Hal itu perlu dilakukan sebagai bentuk pengakuan bahwa korban diakui kerberadaannya untuk dikembalikan hak-hak nya yang terserabut pada saat peperangan. Ketatangeraan yang amburadul tidak akan kembali seperti yang diharapkan tanpa adanya sebuah pengakuan, penyesalan dan pertaubatan.


KKR dimaksudkan sebagai lembaga ekstra yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran. Dengan menyingkirkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lampau. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dengan perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Sebagaimana penjelasan Undang-Undang No.26 Tahun 2000.


Pembentukan KKR diharapkan bisa menjadi alternatif lain untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mengalami kebuntuan. Seperti kasus pelanggaran HAM berat di Aceh semasa penerapan kebijakan daerah operasi militer (DOM) pada tahun 1989-1999, dan berbagai kasus lainnya yang telah menjadi catatan kelam dalam sejarah penegakan Hak Asasi Manusia di Aceh.


Sitti Uswatul Hasanah

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

Universitas Syiah Kuala