Indonesia Kepingin Ikut Jejak Proyek Laptop Gagal Malaysia?

Di tengah booming pengadaan laptop senilai Rp 17 triliun Kemendikbudristek, Pakar pendidikan dari Malaysia University of Science and Technology, Malaysia Franklin Styne mencontohkan proyek pengadaan laptop chromebook di Malaysia, yang dikenal dengan nama 1BestariNet, yang kemuduan dihentikan oleh pemerintah Malaysia pada tahun 2019 lalu karena dianggap gagal.


Pakar pendidikan dari Malaysia University of Science and Technology, Malaysia Franklin Styne. Foto: Capture YouTube

JAKARTA - Pandangan Franklin ini disampaikan dalam acara Ngobrol Pintar Seputar Edukasi (Ngopi Seksi) yang tayang di kanal YouTube Pendidikan Vox Point, Ahad (8/8) lalu.

Ia memaparkan, proyek 1BestariNet di Malaysia ini rencananya akan berjalan selama 15 tahun. Mulai dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2026. Targetnya menyediakan akses internet kecepatan tinggi nirkabel dengan teknologi 4G yang dilengkapi dengan laptop chromebook dan learning management system (LMS) untuk 10.000 sekolah secara nasional, yang akan menjangkau lima juta (5.000.000) siswa dan lima ratus ribu (500.000) guru.

Kementerian Pelajaran Malaysia lalu menggunakan istilah menciptakan lingkungan belajar virtual sebagai target yang harus dicapai. Sayangnya setelah 8 tahun berjalan, lingkungan belajar virtual yang tercipta hanya sekitar lima persen 5 persen saja.

Pasalnya, masih ada ribuan sekolah yang belum terkoneksi internet. Lalu, menurut hasil audit, sekolah yang sudah dilaporkan terkoneksipun ternyata baru sebagian ruang kelas saja, belum seluruh sekolah seperti yang ditargetkan.

Proyek yang menghabiskan anggaran sekitar 14 trilyun rupiah ini akhirnya dibatalkan agar tidak memboroskan uang rakyat lebih banyak tanpa hasil nyata.

Baca Juga Luhut Dituduh Beli Saham Zyrex, Ini Kata Jubir Menko Marves


Franklin merinci ada beberapa faktor yang menyebabkan gagalnya inisiatif ini. Pertama, pemerintah Malaysia, dalam hal ini Kementerian Pelajaran, tidak memberikan sosialisasi terhadap warga sekolah baik pimpinan, pendidik, tenaga kependidikan, siswa, maupun orang tua. Akibatnya tidak ada dukungan dari pengguna untuk beradaptasi menciptakan lingkungan belajar baru secara virtual ini.

Kedua, tidak ada pelatihan dan pendampingan guru untuk meninggalkan pembelajaran tradisional menuju pembelajaran digital, yang tentunya butuh waktu dan strategi yang tepat. Harusnya guru-guru diajarkan dulu secara teknis bagaimana menggunakan laptop chromebook dan lms.

Mayoritas guru adalah imigran digital, mereka yang lahir dan tumbuh di era non digital tapi sekarang hidup di era digital. Setelah itu para guru harus dibimbing untuk menguasai pedagogi digital, bagaimana caranya mendidik yang efektif dan efisen menggunakan teknologi digital.

"Pemerintah Malaysia beranggapan bahwa guru mampu belajar dan beradaptasi secara tanpa perlu ada pelatihan. Ini adalah kesalahan besar yang mengakibatkan gagalnya program ini," tuturnya.

Ketiga, sambungnya learning management system (LMS) adalah sebuah aplikasi yang berfungsi sebagai rumah dari materi pembelajaran digital. Dalam proyek ini, konten digital tidak disiapkan sama sekali.

Kementerian Pengajaran Malaysia berasumsi bahwa para guru mampu mencari konten digital secara mandiri ataupun dapat membuat konten sendiri. Faktanya, itu semua tidak terjadi.

"LMS yang bermerk Frog ini, akhirnya kosong tanpa isi konten-konten digital sehingga pembelajaran digital tidak berjalan," ungkapnya.

Faktor keempat, penyebab kegagalan program ini adalah tidak adanya dukungan orang tua. Masyarakat Malaysia pada masa itu mayoritas menganggap teknologi digital lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Minimnya sosialisasi tentang literasi digital pada masyarakat membuat orang tua berasumsi bahwa anak akan lebih banyak bermain dan mengakses konten-konten negatif daripada untuk belajar.

Rendahnya mutu laptop chromebook yang dibeli juga menjadi salah satu faktor gagalnya proyek ini. Menurut Franklin yang kebetulan istrinya adalah seorang guru sekolah menengah yang menggunakan laptop chromebook ini, ongkos perbaikan chromebook jika ada kerusakan lebih mahal harganya daripada laptopnya sendiri.

Hal ini akibat teknologi yang digunakan berbeda dengan laptop biasa yang bisa diganti suku cadangnya secara individu jika ada kerusakan, tapi dengan chromebook semuanya menjadi satu komponen.

"Karena itu biaya perawatan laptop-laptop chromebook menjadi sangat mahal dan itu menjadi tanggung jawab sekolah bukan Kementerian," pungkasnya.