Sekelumit Cerita Di Balik Kekosongan Hukum LGBT: Didatangi Dubes Hingga 'Ditidurkan'

Sejumlah Duta Besar Uni Eropa mendatangi Komisi III DPR, komplain.
Polemik lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT kembali mencuat usai Deddy Corbuzier menghadirkan pasangan gay ke podcastnya. Desakan publik agar pesulap yang alih profesi jadi YouTuber itu dihukum karena tayangan tersebut, terkendala lantaran tidak ada hukum yang mengaturnya.

Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil.

JAKARTA - Pertanyaannya, kenapa bisa terjadi kekosongan hukum dalam perkara LGBT ini?

Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil punya cerita soal ini. Politisi PKS yang lama berkecimpung di komisi hukum DPR ini bilang, pihaknya sudah pernah memasukkan delik kesusilaan menyangkut hubungan sesama jenis atau LGBT ini ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Tapi mental.

Ada apa sebetulnya?

"Dulu kan dalam RKHUP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) kan ada keinginan, kita memasukkan juga delik kesusilaan termasuk juga hubungan seksual sesama jenis. Karena di KUHP itu hanya LGBT dengan anak-anak yang dihukum. Nah dengan dewasa enggak," kisah Nasir dalam perbincangan tadi malam.

Upaya DPR memasukkan delik kesusilaan LGBT ini ternyata dikomplain oleh sejumlah pihak. Khususnya dari negara-negara barat.

"Nah direvisi KUHP itu. Kita juga kenakan hukuman untuk dewasa. Memang prokontra. Termasuk juga kehadiran Dubes Uni Eropa, datang ke komisi III, mereka komplain delik kesuliaan di KUHP tersebut. Kalaulah KUHP itu disahkan maka itu bisa menyasar pelaku LGBT yang dewasa itu," sambungnya.

Setelah itu, upaya menjerat pelaku penyimpangan seks ini menemui jalan buntu. Lambat laun suara-suara lantang dari pihak-pihak anti-LGBT pun mulai melemah, RKUHP yang hendak dibahas pun tertidur pulas.

Akibatnya, terjadi kekosongan hukum dalam hal LGBT ini. Kendati demikian, menurut Nasir, kekosongan hukum ini tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan keberadaan LGBT di Indonesia.

Karena Indonesia masih bisa merujuk pada konstitusi, sebagai negara berketuhanan.

"LGBT itu kan penyakit sebenarnya, maka harus dibina diarahkan, sehingga tidak memiliki penyimpangan orientasi seksual. Sehingga harus direhab, dibina," sarannya.

Selain itu, ia juga meminta para konten kreator maupun stasiun TV tidak mengulangi kesalahan Deddy. Yakni menghadirkan pasangan gay dengan alasan menyajikan fakta.

"Jangan karena alasan menyajikan fakta lalu kita melakukan kampanye terselubung," nilainya.

Ia berharap Menko Polhukam Mahfud Md kembali menginisiasi dan mendorong Presiden Jokowi kembali membahas RKUHP tentang LGBT ini. Apalagi, semua agama Indonesia tegas menolak perilaku seksual semacam itu.

"Kita ini Indonesia, bukan barat. Kita berharap pemerintah kembali membahas KUHP, yang selama ini tertidur pulas. Saya berkeyakinan ini sengaja ditidurkan. Karena ada delik kesusilaan yang menimbulkan kontroversi," tandasnya.

Pasalnya, Menko Mahfud kembali memancing perdebatan panas soal tayangan pasangan gay di YouTube Deddy gara-gara berpandangan bahwa negara tak berwenang melarang pesulap itu menampilkan LGBT di podcast miliknya.

"Ini negara demokrasi," kata Mahfud dalam keterangannya seperti dilansir detikcom, Selasa (10/5) lalu.

Menurutnya, rakyat berhak mengkritik Deddy seperti halnya Deddy berhak menampilkan video wawancara dengan LGBT tersebut.

Keesokan harinya, pagi-pagi mantan Menteri Pertahanan era Presiden Abdurrahman Wahid langsung meladeni netizen debat di akun Twitternya. Setelah hampir setengah hari disemprot netizen gara-gara komentarnya itu.

Komentar pertama yang ditangkis Mahfud berasal dari sahabatnya, Said Didu. Mantan Sekretaris Kementerian BUMN ini membuat 3 pointer untuk membantah pernyataan Mahfud.

"Prof @mohmahfudmd yth, pemahaman saya : 1) demokrasi bukan berarti bebas melakukan apa saja. 2) demokrasi harus dibatasi oleh hukum, etika, moral, dan agama. 3) pemerintah harus melindungi bangsa dan rakyatnya dari perusakan moral," cuitnya di akun @msaid_didu.

Menko Mahfud tampak menjawab cuitan Said Didu itu dengan enteng. Menurutnya, pemahaman Said Didu bukan pemahaman hukum.

"Coba saya tanya balik: mau dijerat dengan UU nomer berapa Deddy dan pelaku LGBT? Nilai-nilai Pancasila itu belum semua menjadi hukum. Demokrasi harus diatur dengan hukum (nomokrasi). Nah LGBT dan penyiarnya itu belum dilarang oleh hukum. Jadi ini bukan kasus hukum," balas @mohmahfudmd.

Hingga tadi malam, balasan Mahfud ini mendapat 3.284 suka, 1.055 retweer dan 1.471 komentar.

Mahfud menambahkan bahwa berdasar asas legalitas orang hanya bisa diberi sanksi heteronom (hukum) jika sudah ada hukumnya. Jika belum ada hukumnya maka sanksinya otonom, seperti caci maki publik, pengucilan, malu, merasa berdosa, dan lainnya.

"Sanksi otonom adalah sanksi moral dan sosial. Banyak ajaran agama yang belum menjadi hukum," tulisnya.

"Contoh lain, Pancasila mengajarkan bangsa Indonesia “berketuhanan” tapi tak ada orang dihukum karena tak bertuhan (ateis). Mengapa? Ya, karena belum diatur dengan hukum. Orang berzina atau LGBT menurut Islam juga tak busa dihukum karena hukum zina dan LGBT menurut KUHP berbeda dengan konsep dalam agama.

Netizen lain, @abu_waras melampirkan tangkapan layar berita tahun 2017, terkait sikap Mahfud tentang LGBT. "Mahfud Md: LGBT dan Zina Harus Dilarang," bunyi judul berita tersebut. "Kalau pernyataan yang ini, dulu menggunakan pemahaman apa?" tanya @abu_waras.

Dengan santai Mahfud menjawab bahwa sikapnya tidak berubah sampai saat ini. Yakni LGBT dilarang.

"Ya, ini pernyataan saya yang berlaku dan saya pegang hingga sekarang. Itu usul kepada DPR yang waktu itu (2017) ribut soal pidana zina dan LGBT. Itu nilai-nilai moral keagamaan yang kita usulkan mak ke KUHP. Tapi hingga sekarang usul itu belum diterima sebagai hukum dan baru berlaku sebagai kaidah agama dan moral," jawabnya.

Terus, what next?