Ketua DPD LaNyalla Nilai Pernyataan Mahathir Tak Sepenuhnya Benar, Soal Malaysia Tertinggal Dari Indonesia

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mattalitti menilai pernyataan Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang menyebut negaranya kini tertinggal dari Indonesia dalam hal pembangunan, hanya kritik dalam negeri dari seorang politisi berada di luar pemerintahan.


LaNyalla Mattalitti. Foto: lanyallacenter.id


JAKARTA - Sebelumnya, kata LaNyalla, Mahathir juga beberapa kali sangat keras melakukan kritik terhadap kasus korupsi yang dilakukan mantan Perdana Menteri Najib Razak yang terbelit mega korupsi dari mega proyek senilai 1MDB. 


"Sehingga sebagai pelecut, Mahathir mengungkapkan bahwa Indonesia sudah menyalip Malaysia dalam hal pembangunan," kata LaNyalla dalam keterangannya, Selasa (19/4/2022) malam WIB.


"Itu bisa saja jika ukurannya adalah kuantitatif dari pembangunan infrastruktur yang dikebut oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini," sambungnya.


Namun, ia menilai tidak semua perkataan Mahathir benar. Khususnya apabila dilihat dengan jernih menggunakan data. Terutama terkait dengan ketahanan ekonomi dan indeks persepsi korupsi.     


Misalnya data yang dirilis oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Dimana Indonesia harus turun kelas menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah, gara-gara pandemi Covid-19. 


"Bahkan, akibat turun kelas itu, Indonesia harus rela berada di bawah Malaysia," jelasnya.


Sementara terkait indeks persepsi korupsi (IPK), seperti dilaporkan Transparency International (TI), lanjut LaNyalla, menunjukkan bahwa IPK Indonesia sebesar 38 pada 2021. Sehingga Indonesia berada di peringkat 5 ASEAN. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam dengan IPK sebesar 39. Singapura masih menjadi negara dengan IPK paling besar di Asia Tenggara, yakni 85. Skor IPK Negeri Singa tidak berubah dibandingkan pada tahun sebelumnya.  


Sedangkan Malaysia berada di peringkat kedua dengan IPK sebesar 48. Kemudian, Timor Leste menempati posisi ketiga dengan IPK sebesar 41. Adapun, Thailand dan Filipina berada di bawah Indonesia dengan IPK masing-masing 35 dan 33. Laos berada di posisi kedelapan dengan skor IPK sebesar 30. 


"Jadi, kalau merujuk data, tidak semua yang dikatakan Datuk Mahathir itu benar," tuturnya.


Artinya, sebagai bangsa, Indonesia harus serius melakukan kerja-kerja besar dan serius untuk keluar dari potensi resesi ekonomi dan meningkatkan IPK, sehingga tidak berada di bawah Malaysia, Vietnam dan Timor Leste. 


Perlu diketahui, IPK menggunakan skala 0-100. Skor 0 menandakan bahwa suatu negara sangat korup. Sebaliknya, skor 100 dalam IPK menunjukkan negara bersih dari korupsi. 


Sebelumnya, Mahathir membuat pernyataan yang mengejutkan: negaranya kini tertinggal dari Indonesia. Terutama dalam hal pembangunan. 


Pernyataan itu ia lontarkan lewat akun Twitternya, Senin (18/4) lalu. Ada 8 Kuliah Twitter alias Kultwit yang ia cuitkan untuk menggambarkan kondisi Malaysia hari ini.


Ia mengawali kicauannya dengan dua kata huruf kapital: MALAYSIA TODAY. Didalamnya, ia mengaku harus menerima kenyataan bahwa negara yang pernah pernah cukup lama dipimpinnya kini tertinggal dari Indonesia.


"Saya siap menerima bahwa, di bidang pembangunan, Malaysia tertinggal dengan Indonesia dan Vietnam akhir-akhir ini. Tentu saja kita terus berada di belakang Singapura," tulis Mahathir.


"Tapi saya terkejut ketika saya menemukan bahwa kita juga berada di belakang beberapa negara Afrika," sambungnya di cuitan kedua.


Penyebabnya, ungkap Mahathir, Malaysia tidak siap menggunakan teknologi terkini untuk efisiensi dan membatasi praktik korupsi. Banyak pihak menolak teknologi tersebut karena disebut dapat membongkar aib anggota parlemen mereka.


"Saya diberitahu bahwa jika kita mengadopsi teknologi baru ini akan ada protes keras dari anggota DPR. Tampaknya banyak dari mereka yang terlibat dalam bisnis ekspor dan impor," bebernya.


Akibatnya, Ketua Umum Partai Pejuang Tanah Air ini menyebut Malaysia terus merugi. Sementara, Negara-negara Afrika sebutnya, hemat miliaran karena manajemen yang lebih bagus dan lebih efisien. 


Dengan sindiran keras, Mahathir menilai bangsanya tidak peru malu disalip oleh negara-negara lain yang sebelumnya di bawah Malaysia.


"Bukankah kita telah diberitahu bahwa mencuri uang Pemerintah bukanlah sesuatu yang kita harus merasa malu. Jika bos kita melakukannya, tidak apa-apa," sentilnya.


Apalagi para anak buah dari bos-bos tersebut, kata Mahathir ikut berpesta dan menikmati hasil korupsi. Sehingga, sikap murah hati para bosnya itu pun diapresiasi. 


Karena itulah, Malaysia sebutnya, enggan mengadopsi teknologi baru yang dapat menghemat uang negara dan membatasi praktik korupsi.


"Pembuat undang-undang kita bisa merugi. Tolak itu. Biarkan negara bangkrut. Hanya negara yang merugi. Anda tidak kalah. Tidak apa-apa," sindirnya lagi.


Namun, jika dilihat Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis Transparency International yang dirilis 25 Januari 2022 lalu, posisi Malaysia masih jauh lebih baik dari pada Indonesia. Yakni di peringkat 62 dari 180 negara. Sementara Indonesia, di peringkat 96.


Memang, posisi Malaysia terus melorot dalam 2 tahun terakhir. Pada tahun 2019, Indeks Persepsi Korupsi Malaysia berada di urutan 51, lalu turun ke posisi 57 di tahun 2020 dan turun lagi di tahun 2021.


Sementara Indonesia, meskipun di urutan buncit, posisinya sedikit membaik dari pada tahun sebelumnya. Dari posisi 102 ke urutan 96. Kendati demikian, peringkat ini masih lebih buruk dari tahun 2018, dimana Indonesia pernah menduduki peringkat 89 dari 180 negara.


Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga masih tertinggal dari Malaysia. Laporan tahun 2020, Malaysia berada di urutan 62, sementara Indonesia di posisi 107 dari 189 negara. Meskipun di urutan buncit, IPM Indonesia mengalami kenaikan 7 tingkat dalam 5 tahun terakhir. Sementara Malaysia naik 1 tingkat.


Namun, dari sisi pertumbuhan ekonomi, Bank Dunia memproyeksikan Indonesia unggul dibandingkan Malaysia dan sejumlah negara tetangga lain di Asia Tenggara pada tahun ini, yakni di kisaran 5,2 persen. Sementara Malaysia 4,2 persen.


Indonesia juga menang telak dalam sisi Produk Domestik Bruto (PDB). Tahun 2020 saja, PDB Indonesia mencapai 1,058 triliun dolar AS. Sementara Malaysia hanya 336,7 miliar dolar AS.


Namun, dalam hal PDB perkapita, giliran Indonesia yang kalah. Di tahun yang sama, PDB perkapita Indonesia hanya 3.869,59 dolar AS, sementara Malaysia hampir 3 kali lipatnya yakni 10.401,79 dolar AS. Meskipun dalam rilis BPS Februari lalu, PDB perkapita naik menjadi 4.349 dolar AS per tahun.