Ketika Rasulullah SAW Enggan Menyalati Jenazah Seorang Koruptor

Dalam sebuah riwayat, ada kisah ketika Rasulullah SAW enggan menyalati jenazah koruptor. Riwayat ini secara samar juga menunjukkan betapa besarnya dosa korupsi;

Kultum Antikorupsi


Dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwa seorang sahabat Nabi tewas dalam perang Khaibar. Para sahabat melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Shalati jenazah kawan kalian.” Wajah orang-orang berubah karena penolakan Nabi tersebut. Lalu Nabi bersabda; “Kawan kalian telah melakukan pengkhianatan dalam perjuangan menegak- kan agama Allah.” Kemudian kami meneliti harta rampasannya dan menemukan manik-manik buatan Yahudi yang harganya tidak lebih dari dua dirham”


Hadis ini lahir dari koteks Perang Parit [Khandaq]. Setelah berakhirya perang, kaum muslimin diperintah- kan menyerang perkampungan Khaibar; sebuah perkampungan Yahudi yang cukup subur dan kaya. 


Ini disebabkan oleh pengkhianatan dan pengingkaran perjanjian karena suku Khaibar telah diam-diam mendukung pasukan Quraisy. Pasukan Khaibar menyerah, dan penduduknya ditawan. Harta bendanya dirampas. 


Kemenangan di Khaibar membuat sebagian tentara gelap mata. Harta rampasan yang seharusnya diserahkan kepada pimpinan untuk dibagi sesuai ketentuan, ia sembuyikan. Celakanya, sang tentara harus tewas sebelum menikmati man- ik-manik yang tidak terlalu mahal itu.


Melihat konteks salat jenazah dalam Perang Khaibar ini, sepertinya, tewasnya sang tentara setelah Perang Khaibar benar-benar usai. 


Karena, orang yang mati dalam medan perang harusnya tidak perlu disalatkan. Kecuali jika kematiannya terjadi setelah perang usai.


Ketika para sahabat mengabarkan hal tersebut, Rasulullah SAW enggan menyalati jenazah koruptor. Para sahabat pun keberatan. Karena alasan apa Nabi Muhammad SAW menolak? 


Nabi SAW lalu menjelaskan bahwa jenazah tersebut adalah pelaku penggelapan harta yang bukan haknya. Kemudian Nabi Muhammad SAW memerintahkan para sahabatnya yang lain untuk mensalati jenazah tersebut.


Menyalati jenazah pelaku dosa merupakan persoalan yang hangat dibicarakan ulama sejak dulu. Baik di lingkungan ahli ilmu kalam maupun ahli fikih. 


Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi SAW enggan melakukan salat jenazah. Seperti dalam kasus bunuh diri yang dilakukan seorang sahabatnya, kemudian ketika seorang sahabat mati dalam keadaan meninggalkan hutang, dan berikutnya saat seorang tentara muslim menggelapkan harta rampasan.


Beberapa penyusun kitab hadis membuat bab khusus tentang anjuran agar pemimpin tidak melakukan shalat jenazah atas beberapa orang dalam kasus-kasus tertentu. Terkait jenazah orang yang mati bunuh diri, Umar bin Abdul Aziz dan al-Auza’i berpendapat bahwa mereka tidak boleh disalati karena kedurhakaan mereka.


Sedangkan kebanyakan ulama, seperti al-Hasan, al-Nakha’i, Qatadah, Malik Abu Hanifah dan al-Syafi’i berpendapat bahwa mereka tetap harus disalati. Apa yang dilakukan Nabi bertujuan untuk menjerakan agar masyarakat tidak mengikuti perilaku orang bunuh diri tersebut.


Menurut al-Qadhi Iyadh, seluruh ulama berpendapat bahwa setiap muslim baik yang mati karena dipancung atau dirajam, mati bunuh diri dan anak hasil zina harus disalati. 


Secara khusus untuk orang yang mati dipancung, imam Malik memfatwakan pemimpin negara tidak boleh mensalati dan orang-orang mulia dari suatu komunitas hendaknya tidak mensalati jenazah pelaku maksiat. Tujuannya untuk menjerakan mereka yang masih melakukan.


Sedangkan terkait dengan pelaku penggelapan harta seperti disinggung hadis di atas, jelas bahwa alasan Nabi enggan mensalati jenazah tentara tersebut adalah penggelapan harta rampasan yang bukan haknya. 


Ibnu Abdil Barr dalam al-Tamhid menyatakan bahwa terdapat tujuan dalam kebijakan tersebut.

Pertama, untuk menunjukkan pembelajaran dan jadi efek jera bagi orang-orang yang masih hidup agar tidak melakukan perbuatan serupa dan agar mereka yang masih melakukan segera menyudahinya. 


Kedua, sebagai sanksi bagi jenazah. Karena, salat jenazah merupakan ekspresi kasih terhadap orang yang telah meninggal. Jika itu tidak dilakukan, berarti ada kemungkinan orang tersebut tidak dikasihi atau dikasihi hanya saja tidak dita- mpakkan oleh Nabi. Tentu hal ini kembali kepada yang hidup agar tidak meniru perilaku korup tersebut.