Jelang Pilpres, LaNyalla Ingatkan Bahaya Lingkaran Setan Oligarki Yang Bikin Rakyat Kere

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mattalitti menyinggung bahaya oligarki jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Jeratan oligar

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mattalitti menyinggung bahaya oligarki jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Jeratan oligarki menurutnya, bisa bikin rakyat kere.


Ketua DPD, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. FOTO: lanyallacenter.id 


SURABAYA - "Oligarki yang diperkaya memang akan bisa membiayai Pilpres dan menjadikan seseorang sebagai presiden," kata LaNyalla dalam sambutannya di acara Musrenbang Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Selasa (19/4/2022).


"Tetapi setelah itu, semua kebijakan negara harus menguntungkan dan berpihak kepada mereka. Lingkaran setan ini harus kita potong dan kita akhiri," tegasnya.


Ia berharap, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak boleh kalah oleh oligarki yang menempel dan berlindung di balik kekuasaan.


"Jadi sekarang tergantung dari leadership kita. Apakah pemimpin kita mau memelihara dan dipelihara oleh Oligarki, sehingga tinggal duduk manis dapat saham dan setoran. Atau memikirkan saat dia dilantik dan membaca sumpah jabatan yang diucapkan dengan menyebut nama Allah," tuturnya.


Jika hanya memilih duduk manis dan menerima setoran serta punya saham untuk anak cucu dan cicit, maka menurutnya Indonesia akan terus menerus berada dalam situasi seperti hari ini. APBN defisit, karena harus terus-menerus menutupi utang Luar Negeri. 


Lalu, rakyat disuap dengan BLT-BLT untuk sekian puluh juta rakyat dan seterusnya. Meskipun, mantan Ketua Umum PSSI ini menilai tidak ada satu pihak pun yang bisa mengecek angka tersebut di lapangan.


Oleh karena itu, ia meminta agar semua pihak berani bangkit dan melakukan koreksi. Bahwa sistem ekonomi Pancasila, yang disusun sebagai usah bersama untuk kemakmuran rakyat mutlak dan wajib untuk dikembalikan. 


"Tanpa itu, negeri ini hanya akan dikuasai oleh oligarki yang rakus menumpuk kekayaan, dan rakyat akan tetap kere," ingatnya.


LaNyalla lalu memaparkan data lembaga internasional OXFAM terkait ketimpangan sosial dan gap kekayaan di Indonesia. Dikatakan bahwa harta dari empat orang terkaya di Indonesia, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia.


OXFAM juga mencatat, sejak Amandemen Konstitusi tahun 2002 silam, jumlah miliuner di Indonesia telah meningkat 20 kali lipat. Sementara ratusan juta penduduk Indonesia tetap berada dalam kemiskinan.


"Mengapa ini terjadi? Jawabnya; Pasti ada yang salah dengan sistem atau metode yang dipilih oleh bangsa ini dalam mengelola kakayaan yang diberikan oleh Allah kepada bangsa ini," imbuhnya.


Ia juga menguti catatan pemerhati energi Salamudin Daeng, yang menyebutkan bahwa hasil produksi Batubara nasional mencapai 610 juta ton atau senilai 158,6 miliar dolar AS. Atau dalam rupiah setara Rp 2.299 triliun rupiah. 


"Jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa membayar seluruh utangnya hanya dalam tempo tujuh tahun lunas," hitungnya.


Belum ditambah produksi sawit sebanyak 47 juta ton atau senilai 950 triliun rupiah. Hitungannya, jika dibagi dua dengan negara, maka pemerintah bisa menggratiskan biaya pendidikan dan memberi gaji Guru Hononer yang layak. 


"Mungkin masih ada sisa dana untuk gratiskan minyak goreng untuk masyarakat kurang mampu," terangnya.


Itu baru dari dua komoditi, Batubara dan Sawit. Belum puluhan komoditi yang lain. Dimana, Indonesia juga merupakan produsen tembaga ke-9 terbesar di dunia, urutan pertama produsen Nikel terbesar di dunia. Urutan ke-13 produsen Bauksit di dunia. Urutan ke-2 produksi Timah di dunia. Urutan ke-6 produksi Emas di dunia. Urutan ke-16 produksi Perak di dunia. Urutan ke- 11 produksi Gas Alam di dunia. Urutan ke-4 produsen Batubara di dunia. Urutan pertama dan terbesar di dunia untuk produksi CPO Sawit. Urutan ke-8 penghasil kertas di dunia. Urutan ke-22 penghasil minyak di dunia. Urutan ke-2 produsen kayu di dunia, dan lainnya.


Namun, catatan mentereng itu belum cukup berkonstribusi besar bagi negara. Dana yang masuk ke negara dari royalti dan Bea Ekspor dari Sektor Mineral dan Batubara, dari tahun 2014 hingga 2020, tidak pernah menembus angka Rp 50 triliun setiap tahunnya.


Kecuali di tahun 2021 kemarin, dimana harga Batubara dan sejumlah komoditi Mineral mengalami kenaikan drastis, sehingga tembus Rp 75 triliun.


Itu adalah angka yang disumbang dari sumber daya alam Mineral dan Batubara. Artinya sudah termasuk Emas, Perak, Nikel, Tembaga dan lain-lain. Sementara hasil produksi Batubara saja, secara nasional mencapai angka Rp 2.299 triliun.


"Jadi kembali kepada kita. Mau memilih sistem ekonomi yang memperkaya negara atau memperkaya Oligarki. Tinggal kita putuskan," pungkasnya.