Islam Sebagai Agama Sosial dan Kemasyarakatan

Suatu hari Rasulullah SAW menerima tiga orang tamu dengan wajah yang menampakkan raut serius. 


ILUSTRASI: Majelis Zikir Al-Bahuur

SETELAH dipersilahkan masuk, tanpa menunggu waktu lama, ketiga orang ini langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Ketiganya hendak menyampaikan militansi dan kesungguhan mereka dalam beragama. 


Ketiganya hendak mencapai titik maksimal dalam tindak peribadatan kepada Allah SWT. Yang pertama mengatakan dengan tegas bahwa ia akan salat terus menerus tanpa memperdulikan rakaat dan istirahat. 


Yang kedua dengan menyakinkan menyatakan bahwa ia akan terus berpuasa untuk menaklukkan hawa nafsunya tanpa memperdulikan waktu berbuka.


Tak mau kalah, yang ketiga juga berapi-api ketika menegaskan bahwa dirinya tidak akan menikah. Ia tidak memiliki tempat untuk perempuan dan anak karena seluruh hidupnya hendak dia abdikan untuk beribadah kepada Allah SWT.


Melihat semangat beragama ketiga tamunya itu Rasulullah hanya tersenyum dan dengan telak meresponnya dengan sebuah kalimat bijak, “dibanding kalian dan seluruh manusia, aku tentu adalah hamba yang paling takut dan taat kepada Allah SWT. 


Meski begitu, aku shalat dan aku beristirahat; aku berpuasa dan juga berbuka; aku juga menikahi perempuan. Itulah kebiasaanku. Maka siapa saja yang tidak suka dengan sunnah-sunnahku itu, maka ia bukan termasuk golonganku”. 


Sebuah jawaban yang tidak pernah dibayangkan oleh para penanya.

Apa yang bisa kita ambil dari cerita di atas? Bahwa Islam adalah agama sosial, agama kemanusiaan yang pu- nya kepedulian serta perhatian penuh kepada aspek-aspek sosial. 


Demikian juga, Islam mengarahkan umatnya untuk tidak hanya rajin beribadah secara individual, tapi juga aktif dalam agenda-agenda sosial yang tujuannya adalah kesejahteraan masyarakat.


Hal ini kemudian dipertegas dalam al-Quran:


اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ


“... Sesungguhnya shalat itu mencegah dari per- buatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar keutamaannya (daripada ibadah-ibadah dan amal-amal ketaatan lainnya). Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan“. (QS. Al-Ankabut: 45)


Bahwa hasil dari salat yang dilakukan seorang muslim adalah kecenderungan untuk mencegah diri melakukan perbuatan keji dan mungkar yang bisa berdampak buruk bagi orang lain. Sebaliknya, salat yang benar akan melahirkan dorongan untuk menghadirkan kebaikan-kebaikan di tengah masyarakat.


Maka kita pun bisa menyimpulkan, kalau ada seorang mukmin, taat melaksanakan perintah agama, tapi dia terbukti melakukan korupsi, berarti ada yang salah dalam ibadah-ibadah yang dia lakukan selama ini.


Bukannya mendorong untuk menghadirkan kebaikan, dia justru hadir sebagai tikus yang merusak dan menggerogoti kesejahteraan rakyat.


Mudahan-mudahan kita semua diberikan karunia oleh Allah SWT untuk senantiasa terdorong melaku- kan kebaikan-kebaikan, utamanya untuk masyarakat kita. Dan mudah-mudahan kita semua menjadi muslim yang sejati, yang salat, puasa, zakat dan seluruh amal ibadahnya mampu melahirkan kepekaan sosial serta ahlakul karimah.


Penulis: Asep Saefuddin

Majelis Zikir Al-Bahuur