Al-Quran dan Korupsi: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 29

Ada banyak cara untuk mendapatkan harta selaku tonggak utama dalam menjalankan kehidupan di dunia. Di antaranya adalah dengan cara berdagang.

Kultum Antikorupsi hari ke 25 Ramadhan 1443 H

Hanya saja, pada nyatanya tidak semua model transaksi yang terdapat pada cara ini dibenarkan oleh syariat Islam. Maka Islam pun membentuk aturan-aturannya yang mesti diperhatikan oleh seorang muslim.

Di antara aturan tersebut adalah adanya suka rela yang dilakukan oleh kedua pihak yang saling melakukan transaksi. Suka rela ini menjadi prinsip utama atas kebolehan dan keabsahan sebuah transaksi.

Maka dari itu, setiap seorang muslim mesti memperhatikan poin ini. Hal ini sebagaimana tertera di dalam sebuah al-Quran;


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhn- ya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)

Pada ayat tersebut, Allah SWT mengawali firman-Nya melalui larangan untuk tidak memakan harta orang lain dengan cara bathil.

Meskipun menggunakan kata ‘me- makan’, namun maksud diksi tersebut tidak lantas hanya layaknya orang mengkonsumsi makanan pada umumnya.

Lebih dari itu, diksi memakan di sini juga dapat diartikan dengan ‘mengambil’. Maka kalau harta itu memang milik hak orang lain, maka kita tidak boleh mengambilnya.

Apalagi cara mengambilnya dengan cara bathil sebagaimana diperjelas di dalam ayat tersebut, tentu konsekuensinya bisa berlipat-lipat. 

Melalui pemaknaan seperti ini, maka perbuatan korupsi dapat digolongkan ke dalam ayat ini. Sebab perbuatan ini sudah sangat jelas mengambil hak orang lain, bahkan tak jarang banyak pihak yang menjadi korbannya sehingga mereka sangat dirugikan akibat dari perbuatan ini.

Dan sebagaimana dimaklumi bahwa pada umumnya, perbuatan korupsi dilakukan untuk memperkaya diri, keluarga, dan/atau golongannya sendiri.

Jadi orientasi uang yang diperoleh melalui cara seperti ini bukan untuk kemaslahatan bersama, melainkan untuk kepentingan diri sendirinya. Maka wajar kiranya kalau perbuatan ini sangat tercela dan dibenci banyak orang.

Untungnya, Allah SWT melalui ayat ini tidak hanya memberikan ultimatum belaka. Dia juga memberikan solusi bagaimana bisa mendapatkan harta yang awalnya merupakan milik orang lain, yaitu dengan cara berdagang.

Hal ini juga sudah pernah dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan seorang saudagar yang disukai banyak orang atas kejujurannya dalam menjual dagangannya.

Maka wajar kiranya jika Siti Khadijah terpukau dengan akhlak beliau sehingga meminta beliau untuk meminangnya sebagai istri.

Bahkan saat baginda Nabi diangkat sebagai Rasul, suatu waktu beliau pernah menggadaikan baju perisainya terhadap seorang Yahudi. Hanya saja, Nabi SAW tidak sempat menebusnya karena ajal keburu menjemput beliau.

Kemudian Sayyiduna Ali bin Abi Thalib menebus baju tersebut demi menggugurkan tunggakan beliau ter- hadap orang Yahudi tadi.

Jika kisah ini disandingkan dengan ayat di atas, maka keduanya mempunyai benang merah bahwa suka rela dalam melakukan transaksi menjadi asas utama.

Serta urusan kepercayaan agama tidak menjadikan penghalang akan kebolehan melakukan sebuah transaksi. Begitu juga sebaliknya, meskipun sama-sama memeluk satu kepercayaan agama, namun melakukannya dengan cara bathil, maka hal itu tidak dapat dibenarkan sama sekali.