Al-Quran dan Korupsi: Tafsir Surat al-Maidah Ayat 38

Jika melihat beberapa kitab fikih kontemporer, tidak sedikit dari para ahli fikih kontemporer yang menganalogikan pencurian dengan korupsi.

Kultun Antikorupsi hari ke 26 Ramadhan 1443 H

Kedua perbuatan tercela ini memiliki kesamaan dalam hal mengambil harta milik orang lain dengan cara sembunyi. Atas dasar ini kemudian mereka melandaskan hukuman bagi pelaku koruptor seperti pencuri, yaitu potong tangan sebagaimana ayat berikut:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38).

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Secara tekstual, redaksi ayat ini menjelaskan mengenai sanksi bagi seorang pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Namun mengingat model pencurian mengalami perkembangan, maka ayat ini juga dapat diberlakukan terhadap beragam model pencurian tersebut, termasuk dalam hal ini tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, di dalam aturan pidana Islam, orang yang melakukan korupsi dapat disanksi dengan potong tangan berdasarkan ayat ini. Hal ini disebabkan perbuatan korupsi selaku kejahatan yang pasti merugikan orang lain, maka sudah sepatutnya mendapatkan sanksi yang seimbang agar membuatnya jera dan tidak mengulanginya lagi.

Lantas bagaimana kalau mengulangi perbuatan tersebut? Ternyata di sana ada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Darquthni yang mengatakan bahwa kalau seorang pencuri mengulang kembali perbuatannya, maka sanksinya berupa potong kaki kiri.

Atas hadis ini kemudian kalangan mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa sanksi bagi seorang pencuri yang mengulangi perbuatannya kembali adalah berupa menyilang.

Dengan demikian, sanksi ini juga dapat diberlakukan bagi seseorang yang mengulangi perbuatan korupsinya.

Hal ini berguna sebagai pelajaran atas perbuatannya yang telah merugikan orang lain. Perbuatan dengan mengambil hak orang lain semacam ini memang pantas mendapatkan balasan yang setimpal.

Apalagi kalau sampai menyangkut nasib banyak orang, maka sanksi semacam ini kiranya sudah sangat tepat.

Sanksi ini juga sekaligus hendak membuktikan keseriusan Allah SWT dalam menetapkan aturan-aturan-Nya yang berkaitan dengan harta atau hak orang lain, bahwa hal ini bukan perkara remeh dan sederhana.

Mengambil harta atau hak orang lain merupakan perbuatan tercela yang mesti diwaspadai dan dihindari oleh setiap muslim. Bahkan di dalam sebuah riwayat hadis dinyatakan bahwa mencuri itu termasuk dari perbuatan dosa besar (al-kabair).

Ini semua menunjukkan bahwa agama Islam begitu bersungguh-sungguh dalam upaya memelihara harta orang lain. Agama Islam menyadari bahwa setiap orang memiliki kebutuhan (harta) demi mencukupi dan melangsungkan kehidupannya di dunia.

Maka saat kebutuhan tersebut diambil orang lain dengan sepihak dan tanpa adanya kerelaan, Islam selaku agama yang diyakininya merasa bertanggung jawab untuk memberikan sanksi yang berat terhadap orang tersebut.

Tentunya, ini bukan lantas Islam memiliki sifat pendendam. Namun justru Islam hendak memberikan con- toh mengenai keadilan dan kesetaraan.

Adil di sini dalam arti saat ada kejahatan, yang dalam hal ini pencurian atau korupsi, maka pelakunya mesti dihukum.

Sedangkan maksud kesetaraan di sini ialah sama rata sama rasa di depan hukum tanpa memandang latar belakangnya.

Maka dari itu, di ayat atau hadis mengenai sanksi bagi seorang pencuri atau koruptor di atas tidak menggunakan kata sifat yang berkaitan dengan latar belakang yang menempel di dalam diri pelaku.

Hal itu menunjukkan kalau sanksi tersebut berlaku bagi semua kalangan, apa pun suku, agama, bahkan jabatannya. Maka kita se- laku orang beriman sudah sepatutnya menghindari perbuatan yang dapat merugikan orang banyak ini.

Bukan semata-mata karena takut atas hukumannya, melainkan memang demi menjaga stabilitas hubungan antar sesama.