Cara Kepala Daerah & Pakar Bergelut Di Negara Rawan Bencana

Penanggulangan bencana perlu didekati dengan berperspektif ilmu pengetahuan atau sains. Soal ini jadi fokus pembicaraan di Webinar bertajuk ‘Penanggulangan Bencana di Negara Ring of Fire’ yang diselenggarakan Musyawarah Indonesia, Kamis (16/2) malam.

Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo saat memberikan paparan dalam webinar bertajuk ‘Penanggulangan Bencana di Negara Ring of Fire’ yang diselenggarakan Musyawarah Indonesia, Kamis (16/2) malam WIB. FOTO: IST

JAKARTA - Webinar ini menghadirkan sejumlah narasumber kompeten antara lain Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (BPBD NTB) Sahdan, Pakar Manajemen Bencana, Bappenas Wignyo Adiyoso dan Direktur Indonesia Resilience Akbar Apriawan. Webinar yang berlangsung selama 2 jam 30 menit ini dibuka oleh Koordinator Musyawarah Indonesia Abdul Rahman Ma’mun. 


Bupati Sleman Kustini, menceritakan pengalamannya bersama masyarakat menanggulangi erupsi Gunung Merapi yang sering terjadi. Menurutnya, di Sleman, mereka tidak hanya dihantui oleh ancamah erupsi Merapi, tapi daerahnya juga dikenal rawan bencana lain. 


"Ada 7 Jenis ancaman bencana alam, sehingga perlu kerjasama banyak pihak termasuk masyarakat dan pemerintah pusat, baik BNPB maupun pusat kegunungapian,” kata Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo.

 

Sementara Kepala Pelaksana BPBD NTB H Sahdan mengupas soal manajemen penanggulangan bencana di NTB sebagai daerah ring of fire, melalui pendekatan sosial. Ia menjelaskan bagaikana keterlibatan warga masyarakat secara langsung melalui program Destana atau desa tangguh bencana. 


“Penanggulangan dan mitigasi bencana di desa-desa yang sudah punya Destana sangat efektif, baik untuk sosialisasi maupun menjaga kemungkinan bencana terjadi. Masyarakat lebih percaya warga desanya sendiri daripada orang luar yang datang dan menjelaskan ini-itu tentang bencana,” ucap Sahdan.


Giliran Pakar Manajemen Bencana Bappenas, Wignyo Adiyoso, ia menjelaskan pentingnya pendekatan pengetahuandalam penanggulangan bencana. Pengalamannya, teori yang benar, harus diterapkan sejak perencanaan hingga evaluasi.


“Ketika menyusun program intervensi terkait pengurangan bencana, kita harus tahu persis apa karakteristik bencana,” kata Wignyo Adiyoso salah satu narasumber dalam webinar ke-12 Musyawarah Indonesia, Kamis (16/12).


Dalam paparannya, ia menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang berada dalam Cincin Api Pasifik atau biasa disebut kawasan ring of fire. Dalam Lingkaran Api Pasifik ini setidaknya ada 450 rangkaian gunung berapi aktif dan tidak aktif yang berbentuk lingkaran tidak sempurna yang membentang di sekitar Lempeng Laut Filipina, Lempeng Pasifik, Juan de Fuca dan Lempeng Cocos, serta Lempeng Nazca. 


“Banyaknya aktivitas seismik di wilayah ring of fire menjadi konsekuensi kerentanan terhadap negara yang ada diatasnya karena memiliki ancaman gempa bumi, tsunami, serta dampak lanjutan dari bencana yang terjadi,” kata Wignyo Adiyoso.


Perisitiwa teranyar, letusan Gunung Semeru di Jawa Timur,  Sabtu 4 Desember 2021 lalu. Data per 9 Desember 2021 yang didapat dari Pos Komando Tanggap Darurat Awan Panas dan Guguran Gunung Semeru yang dikelola BNPB, tercatat 39 orang meninggal dunia dan 13 orang hilang.


Dalam pemetaan risiko BNPB, hampir 78 persen kota/kabupaten di Indonesia berisiko tinggi banjir dan longsor. Tak hanya itu, keberagaman suku, ras, agama dan kelompok juga menyebabkan potensi konflik horizontal, serta pendekatan perspektif keamanan yang rawan konflik vertikal. 

 

Direktur Indonesia Resilience Hari Akbar Apriawan menyoroti resilience bencana dan pengurangan risiko bencana berbasis aktivisme pemberdayaan masyarakat. Yakni tentang bagaimana penanggulangan bencana di Indonesia, dengan mengetahui aspek strategi baik kultural, sosiologis dan kebijakan. Ini penting, untuk membangun mitigasi bencana serta memahami bagaimana pentingnya peran masyarakat dalam penanggulangan bencana.


Perlu diketahui, Musyawarah Indonesia merupakan forum yang mengkampanyekan musyawarah atau dialog sebagai cara terbaik. Mencari solusi dalam kehidupan bangsa yang demokratis. Karena dialog, sebut forum ini adalah oksigen demokrasi. 


Diskusi ini dipandu oleh dua moderator, antara lain Amrul Ulu Asit, dari Musyawarah Indonesia Ambon yang juga Dosen Universitas Patimura dan Khairil Anam dari Musyawarah Indonesia Banten, yang juga Dosen UIN Sultan Hasanuddin, Serang, Banten. (Nadia Naila Cahyanda)