Keppres Sekda Papua Diduga Cacat Hukum, Pemuda Adat Resmi Lapor ORI

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Pemuda Adat Papua, Jan Christian Arebo resmi melaporkan dugaan maladministrasi dua Keputusan Presiden (Keppres) terkait pengangkatan Ridwan Rumasukun sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Papua ke Ombudman RI. 


Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Pemuda Adat Papua, Jan Christian Arebo


JAKARTA - Dua keppres yang dilaporkan yaitu SK No. 148/TPA Tahun 2021 tentang Pemberhentian dan SK No 149/TPA tahun 2021 tentang Pengangkatan. Jan tak sendirian ketika mendatangi gedung Ombudsman RI, Jakarta, Selasa pagi (9/11/2021). Ia ditemani Wakil Ketua DPN PAP, Petrodes Mega Keliduan. 


"Saya Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Pemuda Adat Papua bersama Wakil Ketua Umum datang memasukkan aduan terkait Keputusan Presiden Nomor 148 dan 149 yang diterbitkan dalam rangka melantik Sekda Papua atas nama Ridwan Rumasukun," ujar Jan kepada wartawan usai pelaporan di gedung ORI. 


"Yang mana di dalam Keppres itu ada maladministrasi atau cacat hukum, " lanjutnya. 


Maladministrasi dimaksudnya karena merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 sebagaimana perubahan PP 11/2017 Tentang Mekanisme Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Tinggi Madya di Instansi Pemerintah serta Manajemen Aparatur Sipil Negara itu harus melalui uji kompetensi dan seleksi terbuka. 


"Nah Keppres ini sudah melanggar PP 17/2020," tegas Jan. 


Sementara pengumuman hasil seleksi terbuka jabatan pimpinan tinggi madya di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua yang dirilis 19 Juni 2020, tidak tercantum nama Ridwan Rumasukun. 


"Yang ikut seleksi itu Juliana J Waromi, Doren Wakerwa, Wasuok Demianus, Dance Yulian Flassy, dan Basiran," sebutnya. 


Jan pun menjelaskan, sebelumnya memang ada seleksi terbuka yang dilakukan Direktorat Otonomi Daerah, dalam hal ini Akmal Malik sebagai ketua tim seleksi. Dari empat peserta yang lolos ke tahap seleksi berikutnya itu, kemudian terpilih Dance Yulian. 


"Tapi tidak dipraktekkan Bapak Gubernur dengan alasan melampaui kewenangan dan masa pensiun. Sedangkan kita ketahui aturan ASN batas usia pensiun 60 tahun, bukan 58 tahun," bebernya. 


Lebih lanjut terkait laporannya itu, Jan meminta  ORI melakukan investigasi. Sebab, dari penjelasan Deputi Bidang Administrasi Sekretaris Kabinet, Farid Utomo membenarkan dua Kepres tersebut dikeluarkan oleh Istana. Salinan Kepres pemberhentian Dance Yulian sebagai Sekda Papua hingga kini belum diterimanya. 


"Apakah benar yang disampaikan Bapak Farid Utomo itu. Jika tidak benar, Bapak Presiden harus mencopot para pembantunya yang sudah  mencatut nama Presiden dalam memalsukan dokumen negara untuk kepentingan tertentu, karena ini sudah mendeskritkan wibawa negara dan konstitusi negara," tegas lulusan Lemhanas RI angkatan VIII tahun 2014 ini. 


Petrodes menilai pelantikan Ridwan Rumasukun tidak memberikan edukasi kurang baik tentang penyelenggaraan pemerintahan atau birokrasi kepada rakyat. 


"Kok tanpa seleksi tiba-tiba beliau jadi Sekda, kecuali ada hal yang sangat urgensi, misalnya berhalangan tetap atau meninggal atau ada hal-hal terbukti secara hukum dia pernah melakukan pelanggaran. Itu yang kami pertanyakan kepada Presiden," terangnya. 


Ia mempertanyakan, ada hal apa sehingga Rumasukun harus menjabat sebagai Sekda. Sementara sudah ada surat keputusan yang dikeluarkan dan juga presiden kepada Flassy.


Petrodes mengingatkan, saat ini Papua dihadapkan Otonomi Khusus jilid II sehingga akan ada kebijakan-kebijakan yang membutuhkan sekda yang pro rakyat dan tentu saja melalui seleksi yang ketat. 


"Sekda ini jantung birokrasi, jangan salah," ucapnya. 


Untuk itu, pihaknya juga sudah menyiapkan tim hukum ihwal terbitnya Keppres 148 dan 149 yang digunakan melantik Ridwan Rumasukun sebagai sekda Papua. "Tim hukum nantinya lebih spesifik menjelaskan poin-poinnya," ujar Jan.