Homepage Widgets (ATF)

Homepage Widgets

Lobi Politik Anggota DPR Asal Aceh Memble, Revisi UUPA Gagal Masuk Prolegnas

Ini alarm keras bahwa kekhususan Aceh berpotensi terpinggirkan jika kita tidak memiliki kekuatan politik yang terdistribusi dengan baik di Senayan.

Politisi PDI Perjuangan asal Aceh, Masady Manggeng mengkritisi tidak masuknya revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029. Menurutnya, hal ini menjadi bukti lemahnya posisi tawar politik Aceh di tingkat nasional. 

Politisi PDI Perjuangan Masady Manggeng. Foto: Ist

JAKARTA — Padahal UUPA, yang lahir dari Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki 2005 dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, merupakan payung hukum utama pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh.

Masady menekankan, ketiadaan revisi UUPA di Prolegnas menjadi sinyal bahwa aspirasi Aceh belum ditempatkan sebagai prioritas oleh Pemerintah Pusat maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

“Ini alarm keras bahwa kekhususan Aceh berpotensi terpinggirkan jika kita tidak memiliki kekuatan politik yang terdistribusi dengan baik di Senayan,” ujarnya.

Lemahnya representasi politik Aceh juga terlihat dari tidak adanya wakil Aceh di Komisi II DPR RI, yang menjadi mitra utama Kementerian Dalam Negeri dan membidangi isu pemerintahan, otonomi daerah, pemilu, serta kebijakan terkait pelaksanaan UUPA. 

Ketidakhadiran wakil Aceh di komisi strategis ini membuat isu-isu vital daerah kehilangan saluran advokasi langsung di parlemen.

Fenomena lain yang menguatkan kekhawatiran Masady adalah penumpukan anggota DPR asal Aceh di Komisi XIII, yang fokusnya lebih ke perencanaan, anggaran, dan riset. 

Padahal, komisi-komisi seperti Komisi II (pemerintahan), Komisi IV (pertanian dan pangan), dan Komisi V (infrastruktur) jauh lebih strategis bagi agenda pembangunan Aceh.

Masady menilai peran aktif Gubernur Aceh menjadi krusial untuk menjalin komunikasi politik dengan pimpinan partai nasional agar distribusi anggota DPR RI asal Aceh selaras dengan kepentingan kolektif daerah. 

Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Forbes Aceh, forum anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh, harus diperkuat menjadi mesin lobi politik yang sistematis dan konsisten di Senayan. 

“Tanpa kerja kolektif antara Gubernur, DPRA, dan Forbes Aceh, maka Aceh akan terus berada dalam posisi defensif. Padahal, kekhususan Aceh seharusnya diperkuat, bukan dilemahkan,” tambahnya.

Lebih jauh, Masady menyatakan bahwa kondisi saat ini bisa menjadi momentum bagi seluruh elemen politik Aceh untuk membangun kesadaran kolektif. Baik eksekutif, legislatif, maupun perwakilan Aceh di DPR RI dan DPD RI perlu menyatukan langkah dalam memperjuangkan hak dan kepentingan Aceh. 

“MoU Helsinki bukan hanya dokumen damai, tetapi janji politik. Jangan biarkan janji itu berubah menjadi ilusi hanya karena kita absen di ruang pengambilan keputusan nasional,” tegasnya.