Swab-PCR, Pengusaha Untung, Penumpang Buntung
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 3, Level 2, dan Level 1 Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali telah diterbitkan.
Chazali H Situmorang. FOTO: NET |
INSTRUKSI itu diterbitkan 18 Oktober 2021, mulai berlaku 19 Oktober 2021, sampai dengan 1 Nopember 2021. Berarti berlaku untuk 2 minggu. Sudah dapat diprediksi omzet bisnis Swab-PCR akan melambung berlipat-lipat selama 2 minggu, dan saat ini out lite Test Swab - PCR, semakin bertambah seperti jamur dimusim hujan.
Siapa pemiliknya, kita tidak tahu persis. Tetapi tentu diduga ada kolaborasi antara pengusaha dan penguasa, dengan indikasi kebijakan yang dibuat itu cenderung menguntungkan bagi bisnis Swab-PCR.
Jika mobilitas penumpang pesawat Jawa – Bali per hari 25.000 (mungkin kurang tapi mungkin lebih), yang selama ini boleh Swab-Antigen, dengan kapasitas 50% seat pesawat, dan biaya Swab-Antigen Rp. 100 ribu, maka periode kebijakan yang siklusnya 2 minggu, uang penumpang yang terkuras Rp 35 milyar.
Dengan kebijakan yang baru, dan berlaku 19 Oktober sampai dengan 1 Nopember 2021, selama 2 minggu, kapasitas pesawat penumpang 100%, diprediksi kenaikan penumpang 2 kali lipat. Berapa uang penumpang yang terkuras?
50 ribu kali 14 hari kali Rp. 495.000, totalnya Rp. 346,5 milyar. Sebagian uang itu mengalir ke Korea Selatan, China, India, Singapore, Malaysia. Karena bahan bakunya diimpor dari negara-negara tersebut.
Kalau begitu jebloklah counter Swab-Antigen? Hilang Rp. 35 milyar. Belum tentu. Karena pemilik bisnis Swab-Antigen dengan Swab-PCR boleh jadi orangnya sama.
Selama ini, kebijakan tracing, dan testing untuk Covid-19, SOP nya adalah jika hasil Test Antigen positif, maka tidak perlu lagi dilakukan Swab-PCR, karena hasilnya dipastikan juga positif.
Kecuali dalam kondisi tertentu, seperti mereka yang tanpa gejala, hasil swab Antigen positif, perlu juga dilakukan swab PCR, untuk memastikannya.
Kebijakan asimetris
Inmendagri 53/2021 kali ini terkesan suatu kebijakan asimetris. Ada alur berpikir yang logikanya terputus. Satgas Covid-19 menyatakan bahwa kebijakan tersebut untuk pengendalian Covid-19.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adi sasmito mengatakan, alasan wajib tes PCR sebagai syarat penerbangan terbaru karena adanya peningkatan jumlah kapasitas penumpang.
Lah yang mengijinkan peningkatan kapasitas penumpang siapa?
Kementerian Perhubungan beralasan, karena seat penumpang dibolehkan 100% terisi. Maskapai penerbangan tentu senang dengan kelonggaran tersebut, apalagi jarak Jawa-Bali itu tidak ada diatas 1,5 jam. Bisnis penerbangan didorong bergairah. Perketat protokol kesehatan, pakai masker dan cuci tangan pakai hand sanitizer menjadi mutlak.
Walaupun duduk berdekatan dalam pesawat, kalau semua pakai masker dan tidak dibuka selama perjalanan, tidak bersalaman dalam pesawat, tidak ada jalannya virus berpindah. Apalagi penumpangnya sudah dipastikan sehat dengan Swab – Antigen.
Ada logika terputus, jika semangatnya mendorong kegairahan maskapai penerbangan dengan melonggarkan 100 persen seat pesawat, kenapa diharuskan penumpang Swab-PCR yang biayanya 4 kali lipat dan tidak boleh Swab-Antigen.
Para pejabat yang terhormat itu paham betul, karakter penumpang pesawat dalam masa pandemi adalah mereka yang butuh dan ada keperluan penting untuk bepergian dengan pesawat.
Jika alasan untuk memastikan, benar-benar penumpang yang berangkat itu negatif Covid-19, apakah dengan Swab-Antigen diragukan? Kalau diragukan kenapa transport darat boleh Swab-Antigen. Lantas apa makna Vaksinasi yang efikasinya 70-80 persen. Lantas apakah ada korelasi adanya full seat pesawat dengan menggunakan Swab-Antigen atau Swab-PCR?
Fakta yang tidak terbantahkan, uang penumpang lebih banyak terkuras dengan kewajiban Swab-PCR, jika dibandingkan dengan Swab-Antigen.
Kemana uang itu?
Mengalir sebagian masuk kantong pebisnis Swab-PCR, dan sebagian lagi ke negara-negara peng-eksport bahan baku PCR. Boleh jadi perusahaan bahan baku PCR di luar negeri itu, sahamnya juga dimiliki pengusaha oligarki Indonesia.
Kebijakan tiga pilar PPKM Satgas Covid-19, Menhub, Mendagri yang tertuang dalam Inmendagri Nomor 53/2021, apakah boleh dikatakan abuse of power,atau maladministration dalam teori administrasi pelayanan publik?
Hanya waktu yang membuktikannya.
Dr. apt. Chazali H. Situmorang, M.Sc
Pemerhati Kebijakan Publik
Dosen FISIP Universitas Nasional
Posting Komentar