Cucu Sultan: Turki Dalami Pemusnahan Situs Sejarah Turki di Aceh

Pemimpin Darud Donya Cut Putri mengaku bersyukur atas sambutan baik Turki terkait usaha penyelamatan situs sejarah peradaban Islam Asia Tenggara di Aceh.


Pemimpin Darud Donya Cut Putri. Dia cucu Sultan Aceh keturunan Sultan Jauharul Alam Syah Johan Berdaulat Zilullah Fil Alam. FOTO: IST


BANDA ACEH - "Pihak Turki juga ingin tahu lebih jauh dan mempelajari lebih dalam tentang situasi darurat yang sedang terjadi di Aceh", terang Cut Putri dalam keterangannya.


Seperti diketahui, sebelumnya cucu Sultan Aceh keturunan Sultan Jauharul Alam Syah Johan Berdaulat Zilullah Fil Alam itu resmi menyurati Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan, meminta bantuan terkait adanya upaya pemusnahan situs sejarah peradaban bangsa Turki di Aceh oleh pemerintah. 


Dalam surat resmi tersebut, Cut Putri menyatakan bahwa Aceh berada dalam kondisi darurat, dan sudah memerlukan bantuan Turki untuk turun tangan membantu rakyat Aceh yang sedang berjuang. 


Cucu Sultan Aceh itu membeberkan  perihal kondisi darurat tersebut, termasuk tentang data dan fakta proyek IPAL Banda Aceh dan segala pelanggarannya. Menurutnya proyek tersebut memusnahkan jejak peninggalan sejarah kekhalifahan Turki Utsmaniyyah di Aceh Darussalam.


Untuk diketahui, Proyek IPAL Banda Aceh adalah Proyek Strategis Nasional, yang bersumber dari dana asing melalui APBN dibawah Kementerian PUPR. Pembangunannya dipimpin langsung dibawah komando konsultan dari Belanda. 


Sebelumnya, proyek ini bermasalah sejak awal pembangunannya tahun 2015, karena banyaknya protes. Protes semakin meluas, karena dinilai sengaja membangun IPAL di kawasan yang sejak dulu terkenal sebagai kawasan paling penting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara, yaitu kawasan Titik Nol awal mula lahirnya Kesultanan Islam Aceh Darussalam, yang didirikan pada tanggal 1 Ramadhan 601 H bertepatan 22 April 1205 M oleh Ghazi Sultan Johan Syah.


Titik Nol Kesultanan Aceh Darussalam itu, sebut Cut Putri dikenal sebagai Kawasan Situs Sejarah Istana Darul Makmur Kuta Farushah Pindi Gampong Pande Banda Aceh.


Isinya ada ribuan makam para Raja dan Ulama Kesultanan Aceh Darussalam, bangunan-bangunan kuno, artefak dan objek bersejarah lainnya. 


"Sejak dulu Gampong Pande menjadi pusat penelitian sejarah oleh pemerintah, para sejarawan, dan para arkeolog yang datang dari berbagai belahan dunia," lanjutnya.


Cut Putri menyampaikan bahwa dalam upaya penyelamatan kawasan situs bersejarah ini, selama bertahun-tahun pihaknya sudah melakukan segala usaha damai, melakukan pertemuan-pertemuan dengan pihak terkait, termasuk menghubungi dan menyurati resmi berbagai pihak. 


"Ratusan lembar surat-surat sudah dikirim berulang-ulang ke berbagai pihak terkait," terang dia.


Mereka menyurati Pejabat Pemerintah Kota Banda Aceh terkait, Walikota Banda Aceh, Pimpinan dan anggota DPR Kota Banda Aceh, Kepala Dinas terkait di Pemerintah Aceh, Gubernur Aceh, Pimpinan dan para anggota DPR Aceh, Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Pimpinan dan para anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD RI, Forbes (Forum Bersama) DPR RI/DPD RI Asal Aceh, Menteri PUPR RI, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Tehnologi, Menteri Pariwisata Ekonomi Kreatif, Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan, sampai ke Ombudsman RI pusat di Jakarta, dan berbagai pihak lainnya. Bahkan termasuk Presiden Jokowi di Jakarta. 


"Tetapi proyek nasional IPAL Banda Aceh tetap saja bersikeras untuk dilanjutkan, dengan melabrak segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan melecehkan segala kearifan lokal yang berlaku di Aceh," kesalnya.


Seperti diketahui proyek IPAL Banda Aceh dibangun di Gampong Pande Banda Aceh, yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Lindung, dan dijadikan Desa Wisata Situs Sejarah Cagar Budaya.


Proyek IPAL Gampong Pande, yang  dibangun diatas kawasan situs bersejarah itu, kata Cut Putri tak punya dokumen AMDAL, melanggar wilayah administratif, melanggar hukum perlindungan cagar budaya, melanggar Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, melakukan pelanggaran-pelanggaran maladministrasi fatal, dan masih banyak lagi pelanggaran fatal lainnya yang dilakukan terkait proyek tersebut.


"Bahkan Kementerian PUPR sampai menghalalkan segala cara, dan bekerjasama dengan Walikota Banda Aceh, dengan membayar para pihak yang berkepentingan, untuk menghasilkan suatu kesimpulan kajian arkeologi yang sangat menyakitkan hati rakyat Aceh," duga dia.


Kementerian PUPR, sebutnya memutarbalikkan fakta dan tega menyatakan secara resmi, bahwa situs arkeologi makam-makam di proyek IPAL itu bukan makam para Raja dan Ulama, melainkan makam masyarakat umum. Sehingga makam-makam tersebut layak dijadikan kawasan pusat pembuangan tinja najis kotoran manusia. 


"Pernyataan resmi Kementerian PUPR itu membuat amarah rakyat Aceh semakin memuncak," tuturnya.


Cut Putri juga menyayangkan penjelasan Kepala Ombudsman Perwakilan Aceh, yang merencanakan agar semua situs sejarah makam-makam para aulia tersebut dibongkar saja.


Lebih parah lagi, terang dia, pejabat pemerintah di Aceh bahkan menyatakan telah mempersiapkan DED rencana pembongkaran massal situs sejarah makam-makam para Raja dan Ulama lainnya di Aceh.


Ia mengingatkan bahwa Aceh adalah Tanah Syuhada, Negeri Para Aulia yang hampir puluhan ribu lebih situs sejarah makam para Raja dan Ulama syuhada tersebar di seluruh tanah Aceh.


Mereka, sebutnya adalah para pejuang dan pahlawan penyebaran agama Islam di Asia Tenggara, termasuk para keturunan Ulama dan Perwira Pasukan Turki yang dulu datang ke Aceh untuk membangun Negara Aceh, yang kemudian menjadi para Raja dan Ulama yang menjalankan Kesultanan Aceh Darussalam.


"Apabila situs-situs sejarah nenek moyang kita dimusnahkan maka kita hanya tinggal nama, dan menjadi bangsa dan agama yang terjajah!" kata Cut Putri yang juga keturunan dari Pasukan Ghazi Turki Utsmani yang dulu datang membela Islam, dan menegakkan Kesultanan Islam Aceh Darussalam. 


Ia mengaku makam kakeknya juga berada dalam kompleks pemakaman Pasukan Ghazi Turki Utsmani, yang dikirim oleh Sultan Turki Utsmani untuk membantu Kesultanan Aceh Darussalam.


"Rakyat Aceh sangat kecewa atas tindakan sengaja pemerintah, yang berusaha sekuat tenaga menghalalkan segala cara, untuk memusnahkan situs sejarah makam nenek moyang kami, bangsa Turki dan Bangsa Aceh," tandasnya. 


Sebelumnya, Pemimpin Darud Donya ini sudah membincangkan hal tersebut secara langsung dengan Wakil Perdana Menteri Turki dalam kunjungan kenegaraan bersama Duta Besar Turki. Saat itu, Dubes Turki sepakat akan turun tangan bila telah diperlukan. 


"Kami sudah berkomunikasi langsung dengan Wakil Perdana Menteri Turki, beliau menegaskan bahwa sebagaimana kepedulian yang telah diperlihatkan oleh nenek moyang bangsa Turki dulu kepada Aceh, maka Turki sekarang juga bertekad untuk mengikuti jejak nenek moyangnya kepada Aceh, Turki akan selalu peduli kepada saudaranya di Aceh!" tutupnya.


Seperti diketahui, hubungan persaudaraan Aceh dan Turki sangat erat, khususnya dalam menyebarkan agama Islam. 


Kesultanan Aceh Darussalam yang berdiri megah kala itu dikenal sebagai satu dari "The Big Five" yaitu lima Imperium Islam terbesar dunia yang berdiri sejajar. Yaitu Kesultanan Turki Utsmani, Kesultanan Aceh Darussalam, Kerajaan Safawi, Kerajaan Maroko dan Kerajaan Mughal.