Memajukan Desa itu Seperti Apa?

Jawaban paling sering kita dengar adalah dengan membangun jalan dan selokan sebanyak-banyaknya. Bisa juga TPA, PAUD, hingga Musala sebesar-besarnya dan seindah-indahnya. Cat-cet warna-warni sana-sini.


Semen, aspal, dan besi terus datang mengintervensi. Dengan bunga-bunga fee dan komisi yang menggiurkan. 


Tanah yang sebelumnya kebun dan sawah dibelah menjadi jalan. Yang sebelumnya hutan, pepohonan rindang, tempat nyamuk, katak, ular, babi, kera, rusa dan harimau berkembang kini jadi kompleks perumahan, perkantoran, jalan tol dan lainnya. Ada juga yang jadi mall, water boom, apartemen, hotel, stadion dan bangunan-bangunan raksasa apa saja.


Eforia beton-beton ini biasanya sementara. Mula-mula ramai gegap-gempita, lalu jadi bangunan tua, kosong melompong gak berguna.


Tapi yang pasti, sawah dan ladang kian menyempit. Begitulah data-data yang mengkhawatirkan belakangan dirilis pemerintah. Krisis pangan, kata Badan Pangan Dunia (FAO) yang sudah di depan mata, bikin perut bergidik saja.


Habitat terganggu, keseimbangan kehidupan mengancam dan bencana alam makin rajin menyapa. Eh tiba-tiba banjir bandang datang, longsor, air laut naik ke pemukiman, kadar oksigen dalam udara menipis, likuifikasi dan penyakit alam lainnya, komplikasi. Itu karena ulah tangan kita sendiri.


Sementara uang triliunan rupiah dari pajak dan hutang terus dikucurkan. Desa kemudian berubah jadi kota. 


Kepingin ikan, ayam hingga buah-buahan semua harus beli. Pisang, mangga, pepaya, langsat, rambutan dan jambu yang dulunya tinggal minta dan memang buat dibagi-bagi, sekarang semua ada harganya. Air pun tidak gratis lagi. Semua berubah dan menjadi biasa.


Tapi kita juga lupa, akan tiba saatnya, uang menjadi tidak berharga ketika barang dan semua kebutuhan mendasar itu semakin langka dan tiada.


Kemajuan semacam itu buat apa ya?