Akal-akalan Ubah Lembaga Pendidikan Jadi Badan Usaha

Ki Darmaningtyas, Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa (PKBTS) mengaku sempat lega setelah mendapat kabar bahwa Klaster Pendidikan dan Kebudayaan, dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja minggu lalu.

Pengamat Pendidikan Darmanityas. Foto: IST

JAKARTA - Namun, Darmaningtyas mengingatkan teman-temannya di sejumlah group WA agar tidak senang dulu. Karena sangat mungkin nanti muncul regulasi baru terkait dengan perizinan.
"Jika sekarang Baleg membahas tentang regulasi baru untuk perizinan usaha pendidikan, maka apa yang saya khawatirkan menjadi kenyataan," kata Darmaningtyas.

Ada 4 poin yang disorot. Pertama, menyebut ijin pendirian lembaga pendidikan dengan istilah Perizinan Berusaha pada sector pendidikan.

"Itu sendiri sudah menyesatkan," lanjutnya.

Karena, menurut dia, izin usaha adalah yang meliputi semua aspek kegiatan ekonomi. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 huruf d UUD No.3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Kedua, ia menilai keputusan memasukkan pendidikan ke dalam bidang usaha dalam rangka mencari keuntungan jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945. Karena pendidikan itu adalah hak setiap warga dan negara wajib membiayainya. Minimal sampai pendidikan dasar.

Ketiga, mengatur izin pendirian lembaga pendidikan di dalam UU Cipta Kerja, urai Darmaningtyas bisa dimaknai bahwa pemberi ijin penyelenggaraan pendidikan bukan hanya Kemdikbud saja. Tapi ada institusi lain di luar Kemdikbud.

"Dan itu berarti menghidupkan kembali ruh UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang sudah dibatalkan oleh MK pada tanggal 31 Maret 2010," tandasnya.

Keempat, lanjut dia keberadaan norma usulan tersebut memberi atribusi pengaturan yang cukup besar kepada pemerintah untuk mengatur perizinan pendidikan melalui PP.

"Norma inipun masih memaknai rezim perizinan pendidikan masuk UU Ciptakerja, hanya pengaturanya melalui PP, namun substansinya tetap sebagai bagian dari UU Cipta Kerja. Ini memperlihatkan sikap Pemerintah yang tidak konsisten," nilainya.

Sehubungan dengan hal tersebut, ia memohon agar Pemerintah dan DPR konsisten untuk tidak memasukkan pendidikan sebagai barang jasa yang diperdagangkan.

Oleh karena itu pengaturannya, pertama, harapnya harus dikeluarkan dari pembahasan RUU Cipta Kerja. Kedua, mengeluarkan klaster pendidikan dan kebudayaan dalam RUU Cipta Kerja harus dimaknai mengeluarkan secara keseluruhan. Termasuk tidak boleh ada atribusi atau delegasi yang mengarah pada pembentukan regulasi lain oleh pemerintah, yang substansinya tetap menjadikan pendidikan sebagai barang komoditas yang diperdagangkan.

Ketiga, menyediakan akses pendidikan yang terjangkau bagi semua warga. Dan tidak menjadikan kepemilikan modal sebagai dasar untuk mengakses pendidikan.

Karena lanjutnya, salah satu tujuan negara merdeka adalah mencerdaskan bangsa, dan pendidikan adalah sarana strategis untuk pencerdasan bangsa tersebut.

"Oleh karena itu, bila pemerintah menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan dan pendirian sekolah disebut pendirian badan usaha pendidikan, maka jelas-jelas itu bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945," pungkasnya.