Dibatalkan MA, Iuran BPJS Tetap Naik: Jokowi Bikin Perpres Baru

Perpres baru: Nomor 64 Tahun 2020 yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan justru diklaim menjalankan putusan Mahkamah Agung, memenuhi aspirasi masyarakat dan DPR. Kok bisa?

Presiden Joko Widodo meninjau penyerahan bantuan sosial tunai (BST) kepada sejumlah keluarga penerima manfaat di Kantor Pos Jalan Ir. H. Juanda, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat pada Rabu, 13 Mei 2020. Foto: BPMI

JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tak membuat pemerintah "mati kutu". Peraturan Presiden (Perpres) yang dibatalkan, diganti dengan Perpres baru. 

Praktis, hanya sekitar 2 bulan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) bisa menikmati kemenangan. Setelah gugatan mereka terhadap Perpres 75/2019 dimenangkan MA  lewat amar putusan Nomor 7 P/HUM/2020 pada awal Maret lalu. "Perpres bertentangan dengan UU, bahkan UUD 1945," ujar juru bicara MA Andi Samsan Nganro, ketika itu.

Awal Mei, pemerintah kemudian membalasnya dengan Perpres baru: Nomor 64 Tahun 2020. Perpres yang diteken Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5) itu diundangkan pada Rabu (6/5) lalu.

Perpres tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memuat poin-poin kenaikan iuran BPJS Kesehatan.  

Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, berdasarkan Perpres baru, kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku sejak Juli 2020. 

Jadi, rakyat hanya menikmati 3 bulan iuran tidak naik, yakni bulan April, Mei, dan Juni 2020. Besaran iuran di 3 bulan tersebut mengikuti Perpres lama, yakni Nomor 82 Tahun 2018. Masing-masing Rp 80.000 untuk kelas I, Rp 51.000 untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III.

Sementara untuk bulan Januari, Februari, dan Maret 2020, masih mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Yang kenaikannya sekitar 2 kali lipat dari sebelumnya. Masing-masing Rp 160.000 untuk kelas I, Rp 110.000 untuk kelas II, Rp 42.000 untuk kelas III. 

“Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III,” rinci Iqbal, lewat keterangan tertulis tadi malam.

Khusus untuk peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja) kelas III, iurannya disubsidi pemerintah pusat sebesar Rp 16.500. Sehingga, iuran yang dibayarkan Rp 25.500, sama seperti sebelum kenaikan. Namun subsidi sebesar itu hanya berlaku di tahun 2020.

“Kemudian, pada tahun 2021 dan tahun berikutnya, peserta PBPU dan BP kelas III membayar iuran Rp 35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp 7.000,” tambahnya.

Dengan begitu, klaim Iqbal, Perpres yang baru ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan Mahkamah Agung, memenuhi aspirasi masyarakat termasuk wakil-wakil rakyat di DPR RI. "Khususnya dari para Anggota Komisi IX untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/mandiri dan Bukan Pekerja kelas III,” sebutnya.

Lalu kenapa pemerintah ngotot menaikkan iuran? Apa karena keuangan BPJS Kesehatan saat ini sedang sekarat?

Ternyata tidak. Iqbal mengatakan mengatakan kondisi keuangan di BPJS Kesehatan saat ini justru semakin membaik. Meskipun diakui, masih ada keterlambatan pembayaran ke sejumlah Rumah Sakit. 

Namun, tidak separah sebelumnya. Sayangnya, Iqbal enggan menyebutkan berapa nominal tunggakan pembayaran itu. "Angkanya sudah jauh menurun pak. Yang dulunya keterlambatan klaim jatuh tempo bisa hitungan bulan, Sekarang hitungan hari saja," ungkapnya.

Atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini, Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menumpahkan kekesalannya. Dia bilang, Perpres 64/2020 ini adalah bukti bahwa pemerintah tidak patuh pada putusan MA. “Sejak awal, saya menduga pemerintah akan berselancar," sesal politisi PAN itu lewat keterangan tertulis kemarin.

Pemerintah, sebutnya sengaja menaikkan iuran BPJS itu per 1 Juli 2020. Dengan begitu, ada masa dimana pemerintah melaksanakan putusan MA mengembalikan besaran iuran kepada jumlah sebelumnya. Uniknya lagi, sebut dia iuran untuk kelas III baru akan dinaikkan tahun 2021. Sehingga pemerintah terkesan peduli masyarakat menengah ke bawah.

Namun demikian, ia khawatir Perpres ini berpotensi digugat lagi. “Kan repot sekali urusannya. Dinaikkan, lalu digugat. Gugatan menang, ganti perpres dan naikkan lagi. Nanti digugat lagi, mungkin menang. Lalu pemerintah ganti perpres, iuran dinaikkan lagi,” sentilnya.

Di sisi lain, Pengamat Hukum Erwin Natosmal Oemar menilai Perpres 64/2020 harusnya batal demi hukum. Karena secara substansi, perpres tersebut tidak boleh mengatur hal yang sama karena pernah dibatalkan MA.

"Konsekuensinya ada pada dualisme penegakan hukum. Pertama, birokrasi akan tetap menganggap aturan itu ada. Kedua, masyarakat yang tidak mau mengakui adanya aturan tersebut. Akibatnya akan ada konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah," terangnya tadi malam.

Berbeda, pakar hukum tata negara Margarito Kamis justru menilai Perpres tersebut tetap sah dan berlaku. Ia menyebut keputusan menerbitkan Perpres baru itu terbilang canggih. Meskipun, menurutnya kebijakan yang ditempuh itu tidak baik.

"Ini sangat buruk. Sayangnya memang, DPR enggak bisa kita andalkan. Mudah-mudahan Pak Jokowi pada malam-malam Lailatul Qadar merenung, mudah-mudahan mendapat jalan keluar yang baik," ujar Margarito tadi malam.

Nekatnya pemerintah menerbitkan Perpres baru setelah Perpres lama dibatalkan, duga Margarito karena bos MA sudah berganti. Hatta Ali yang telah pensiun digantikan Muhammad Syarifuddin. Ia resmi dilantik pada 30 April lalu di Istana Negara, Jakarta.

"Jangan-jangan ketua MA baru ini punya semangat yang sama dengan Jokowi. Bisa jadi begitu, kita enggak tahu jalan pikiran beliau. Dulu bosnya lain, mungkin sekarang ada semangat baru," duga Margarito.

Ia memaklumi situasi yang dihadapi pemerintah saat ini tidak mudah. Khususnya jika melihat gelagat pemerintah yang kerap menerbitkan surat utang negara. Begitupun dengan Pertamina, yang belum kunjung menurunkan harga BBM, meskipun harga minyak dunia sudah lama anjlok.

Di tengah kesulitan itu, diperparah lagi oleh pandemi Covid-19, ia menyarankan Presiden Jokowi menghubungi 2 pemimpin hebat yang pernah teruji sukses melewati masa krisis, yakni Perdana Menteri China Zhu Rongji dan Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia . "Bertanyalah jangan malu-malu," sarannya.

Sementara itu, Mantan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Chazali Sitomurang mengaku bingung dengan terbitnya Perpres 64 tersebut. "Wah rumit Perpres 64 itu, babaleyut, pusing bacanya. Tarik turut," responsnya singkat.