Bertahan dengan Jalan Pikiran Jokowi

Saat itu seharusnya saya benar-benar sumringah untuk menyambut bulan Ramadhan. Seperti Ramadhan yang seperempat abad pernah saya lewati di Kota Hujan. Yaitu penuh dengan kesyahduan, gembira bersama orang-orang terdekat mengisi bulan suci dengan beragam aktifitas. Tapi kali ini sangat berbeda, penyambutan bulan yang ditunggu-tunggu itu berubah menjadi pertahanan hidup atau mati. Tak terkecuali bagi orang Indonesia, pertahanan itu perlu diperkuat dengan cara menghadapi jalan pikiran para penguasa saat menanggulangi wabah Corona yang menyebar di tanah air.

Ridlo Abdillah

Rencana hanyalah rencana. Ramadhan 1441 H belum tiba, akhirnya Pemerintah Pusat mengumumkan dua warga Indonesia di Kota Depok terinfeksi virus Corona awal Maret 2020. Seketika, suasana genting langsung tercipta.

Orang-orang pun membicarakan soal virus yang sangat menakutkan. Di mana-mana, diksi Corona dari bahasa latin yang memiliki makna mahkota itu makin populer.

Namun, Corona ini adalah virus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan yang juga bisa membuat seseorang meninggal. Orang-orang batuk, panas, pilek, demam diwaspadai. Dan virus Corona ini mengubah segala rencana setiap orang.

Seharusnya, bulan Ramadhan ini selain meningkatkan aktifitas ibadah, saya bersama teman tengah merintis sebuah usaha musiman. Tentu usaha ini untuk menopang ekonomi keluarga saya yang sangat belum stabil. Dan juga sebagai ikhtiar menunaikan berbagai kewajiban.

Prediksi saya ternyata benar. Rintisan usaha yang saya anggap "besar" ini harus dibatalkan karena penuh dengan resiko yang bisa menciptakan kerumunan dan virus mudah menular. Lalu, saya pun berpikir kembali merencanakan sesuatu yang memang harus dilakukan di saat Negara ini sendiri mendeklarasikan dalam keadaan darurat, entah darurat kesehatan atau darurat ekonomi.

Tak ingin tersiksa oleh keadaan, saya pun semakin menggenjot usaha yang memang sudah dijalani selama dua tahun lebih. Sangat kebetulan, usaha agribisnis yang saya jalani adalah sektor yang memang sangat tidak mungkin berhenti sekalipun wabah Corona menyebar di tengah masyarakat. Orang-orang tetap harus makan.

Yang sebelumnya saya berjualan buah-buahan dan sayuran, saat Ramadhan ini saya pun fokus berjualan menyuplai sayuran dan kebutuhan masak terutama untuk kaum ibu-ibu. Selain melalui media online, rumah pun dijadikan warung oleh istri untuk mendekatkan konsumen. Ini mungkin salah satu cara saya untuk mempertahankan hidup sehari-hari dalam urusan ekonomi.

Tapi ada hal yang selalu membuat saya harus benar-benar mempertahankan daya nalar. Yaitu menyikapi segala kebijakan Pemerintah dalam menanggulangi wabah Corona. Tangkapan saya, Pemerintah seperti sedang terkena virus itu sendiri sehingga tampak tidak sehat dan kesulitan berpikir dengan baik.

Kita ketahui, persoalan virus Corona ini adalah persoalan kesehatan. Dan virus itu bisa menyebabkan kematian manusia. Saat kesehatan manusia terganggu, maka aktifitas ekonomi dan lainnya pasti terganggu. Logika ini sederhana. Maka, sesungguhnya, yang benar-benar segera harus ditanggulangi dan diselesaikan adalah persoalan kesehatannya. Jika persoalan kesehatan tuntas, maka persoalan ekonomi, politik, sosial dan lainnya akan lebih mudah ditangani.

Lain penyakit, lain obatnya. Itulah kebijakan Pemerintah saat ini menghadapi virus yang mengglobal. Terlihat, demi mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi, dan status politik, Presiden Jokowi nekat mempertahankan eksistensinya dengan mengeluarkan Perppu sakti, alias Peraturan yang membuat Pemerintah leluasa menggelontorkan dana Negara ke berbagai sektor dengan tidak boleh dianggap sebagai pelanggaran hukum. Dengan dalih, dana itu untuk menanggulangi dampak wabah Corona. Dan jumlah dana itu tidak tanggung-tanggung yang digelontorkannya yaitu Rp. 405 triliun yang juga belum mampu menjamin kesehatan rakyat Indonesia. Atau mungkin dana itu lebih menjamin bagi korporasi-korporasi besar!

Justru, uang Rp. 405 triliun yang begitu besar jumlahnya, ternyata tak berefek dan masih mendorong Jokowi mengeluarkan kembali Perpres untuk menaikkan iuran BPJS.

Sebelumnya pun, kita dibuat makin bingung dengah hadirnya program Kartu Prakerja yang dibiayai Negara sejumlah Rp. 5,6 triliun. Di saat banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya, Jokowi dan kawan-kawan menterinya malah membuat program yang sangat sedang tidak dibutuhkan.

Karena, sekalipun banyak pelatihan kerja yang digelar secara online untuk masyarakat, saat ini sekali, ketika wabah Corona masih menyebar, perusahaan-perusahaan kecil kemungkinan untuk menerima karyawan baru. Dan makin mengherankannya, perusahaan tertentu yang ditunjuk justru terdepan mengelola dan meraih program Kartu Prakerja dengan dananya. Masalah muncul lagi, bagaimana transparansi program Kartu Prakerja itu? Lalu, harus seperti apa Pemerintah harus berbuat?

Pertama, Jokowi harus benar-benar menyelesaikan persoalan kesehatan dan mempersempit gerak virus Corona hingga tuntas. Kedua, Jokowi harus memberi jaminan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini adalah kebutuhan dasar agar pikiran setiap warga pun tenang.

Dananya dari mana?  Pertanyaan ini bisa diajukan sama dengan pertanyaan bagaimana bisa Jokowi menggelontorkan uang yang Rp. 405 triliun itu. Seiring masyarakat sedang mengalami kesulitan ekonomi, dalam keadaan wabah dan setelahnya, barulah, Jokowi berpikir keras untuk memulihkan ekonomi dengan sungguh-sungguh untuk mengejar ketertinggalan.

Langkah itu sudah lebih dari cukup bagi seorang Jokowi untuk berpikir dengan sederhana. Yang tentu, tidak perlu membuat saya harus sangat defensif dalam bernalar ketika melihat kebijakan yang dihasilkan Jokowi.

Seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tetap saja, di jalanan, di beberapa tempat publik, masih saja berseliweran orang-orang tanpa prosedur yang berlaku. Tapi, katanya, PSBB ini akan segera dilonggarkan kembali. Dan entah sedang apa dan di mana virus Corona itu. Jadi selama beberapa bulan ke belakang ini, kita sebenarnya sedang apa?