Harga TBS di Abdya Masih di Bawah Rp 3.000, Petani Sawit Teriak Ketidakadilan
Petani sawit Abdya terpaksa menjual TBS di bawah Rp 3.000 meski harga resmi lebih tinggi.
Di tengah penetapan harga resmi oleh Pemerintah Provinsi Aceh, petani sawit di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) masih harus menelan pil pahit. Harga tandan buah segar (TBS) yang dibeli sejumlah pabrik di daerah ini masih bertahan di bawah Rp 3.000 per kilogram.
![]() |
Petani sawit Abdya mengangkut TBS meski harga jual masih di bawah penetapan. Foto: Ist |
BLANGPIDIE - Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Abdya, Muazam, di Blangpidie, Selasa, mengatakan kondisi tersebut adalah ketimpangan yang terus berulang dan jelas merugikan petani.
“Petani kita masih menerima harga di bawah Rp 3.000, padahal hasil rapat penetapan harga oleh Dinas Perkebunan Aceh sudah jelas,” ujarnya.
Dalam rapat penetapan harga TBS pada 10 September 2025, Dinas Perkebunan Aceh telah menetapkan harga untuk umur tanaman 10–20 tahun sebesar Rp 3.459,54 per kilogram. Harga ini berlaku hingga minggu keempat September. Namun, di lapangan, angka tersebut tidak berjalan sesuai aturan.
Muazam menyebut, dengan rata-rata harga CPO Rp 14.581,25 per kilogram dan harga kernel Rp 13.633,57, pabrik seharusnya tidak punya alasan menekan harga beli TBS terlalu rendah.
“Angka-angka ini cukup untuk memberi harga yang layak. Tapi kenyataannya, petani tetap jadi korban,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa masalah ini bukan sekadar teknis, tapi juga soal rasa keadilan.
“Selisih ini bukan hanya soal angka, tapi soal keadilan. Petani jangan terus-menerus jadi korban ketidaksesuaian antara harga penetapan dan praktik di lapangan,” katanya.
Muazam mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait tidak tinggal diam. Menurutnya, pengawasan ketat terhadap pelaksanaan harga penetapan dan transparansi dalam sistem rendemen pabrik harus segera ditegakkan.
“Kalau ini dibiarkan terus menerus, petani sawit akan terus merugi. Apalagi biaya perawatan dan pupuk semakin mahal. Jangan sampai jerih payah petani hanya jadi angka di atas kertas,” ungkapnya.
Ia menutup dengan nada keras, menyoroti praktik pemotongan harga yang disebutnya sudah di luar batas.
“Petani juga bukan sapi peras. Dan pemotongan persen cukup tinggi sampai 6,5 persen. Para pemilik pabrik harusnya punya perasaan,” tutupnya.
Posting Komentar