Kadistanpan Abdya Bungkam Soal Sawah 6 Bulan Terlantar, Keujrun: Pemimpin Lupa Tanggung Jawab!

Aksi saling curi air yang memicu cekcok antar-petani juga tak terhindarkan
Malang nian, nasib sejumlah petani padi di Blang Pidie dan Jeumpa, kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya). Penantian hingga 6 bulan lebih, belum mendapat kepastian kapan mereka bisa turun ke sawah.

Kondisi areal persawahan yang sudah sekitar 6 bulan lebih tidak bisa digaral. Foto: Abdul Razaq

BLANG PIDIE - Kepala dinas pertanian dan pangan (Distanpan) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) drh Nasruddin masih bungkam, ketika dikonfirmasi media ini. Pantauan di lapangan, persoalan yang sempat dikeluhkan petani juga belum mendapat jawaban dan solusinya.

Salah satu kendala yang menyebabkan para petani di Kecamatan Blangpidie dan Jeumpa tak bisa menggarap sawahlnya ini antara lain dikarenakan kurangnya alat bajak. Kemudian debit aliran air kesawah juga terlalu kecil.

Tak ayal, sesama petani pun tak jarang terlibat cekcok lantaran air yang sering macet pada saluran sekunder pintu masuk.

Salah seorang petani Desa Lhung Asan Sabri misalnya. Ia menceritakan sejumlah masalah yang dialami di areal persawahannya. Mulai dari mencuri air hingga menahan alat bajak.

"Karena debit air terlalu kecil sehingga resikonya harus menutup pintu masuk air ke sawah tetangga, demikian juga dilakukan oleh petani desa sebelah, begitu terus-menerus yang terjadi selama ini," keluh Sabri dalam perbincangan dengan media ini.

Secara terpisah, sejumlah keujrun dan aneuk blang dalam desa, juga mengeluh terhadap persoalan yang sama setiap musim turun kesawah. Demikian juga diperkuat oleh beberapa kepala Desa seperti Keuchik Lhung Tarok Jakfar, Keuchik Ladang Neubok M.Said, dan Keuchik Asoe Nanggroe Darlius.

Hasil wawancara Suardi selaku Keujrun Blang Desa Lhung Tarok Kecamatan Blang Pidie, kepada awak media ia pernah menuturkan seharusnya mereka sudah turun ke sawah sebelum puasa pada Maret 2022, sejak saat itu waktu telah tersita sangat lama.

Suardi sangat menyesali keadaan para petani dalam desanya, ia merasa seakan pemimpin lupa tanggung jawab kepada kalangan bawah termasuk mereka para petani.

Selaku Keujrun Blang (ketua tani) yang bertanggung jawab terhadap Aneuk Blang (petani) Suardi tidak dapat menahan emosi, sehingga ia menjawab melalui bahasa daerah (Aceh).

"Meunyo sabe lagenyo yang pah beronjong tampeugot keudro, Lhung takuh keudroe, Blang ta Meu uu Ngon keubeu lage jameun, wate panen pade takoh Ngon sabet. ("Kalau selalu seperti ini maunya saluran irigasi kita buat sendiri, sawah kita bajak manual bantuan kerbau seperti masa lalu, terus saat panen menggunakan sabit," kesalnya.

Sementara itu mantan Keuchik Desa Asoe Nanggroe dua periode Adnan mengakui lelah dalam menangani persoalan petani diwilayah persawahan mereka. Secara intens ia mengakui pernah dekat dengan Bupati Abdya yang ternyata juga memiliki lahan persawahan seluas lebih kurang 2 hektar di desa tersebut.

"Bek han tanyo rakyat biasa, meu umong bupati keudro hanjeut geupubut jino, gopnyan nyo hana meugo Hana deuk, Tanyo meunyo Hana tapula pade peutapajoh, samar-samar? (Jangankan kita rakyat biasa, sawah bupati saja tidak bisa dikerjakan saat ini, beliau tanpa sawah masih bisa makan, tanpa tanam padi kita petani mau makan apa, (sensor)?" begitu pungkasnya.

Saat ini puluhan petani dari empat Kemukiman dua Kecamatan sedang menunggu perhatian dari pemerintah daerah Abdya. Harapan tersebut tentu untuk mengatasi persoalan yang telah menghantui para petani sejak lima tahun lalu.***