Banyak Kejanggalan, RUU Sisdiknas Dibedah Oleh Aktivis Pendidikan Di Portal Ini

Untuk memantau terjadinya penyimpangan terhadap prinsip-prinsip dasar dan tujuan sistem pendidikan nasional, sejumlah aktivis pendidikan meluncurkan website www.kawalruusisdiknas.id.


ILUSTRASI: Freepik  

JAKARTA  - Para aktivis selama ini menemukan sejumlah kejanggalan dan manipulasi dalam pasal-pasal draft RUU Sisdiknas seperti hilangnya nomenklatur madrasah, komersialisasi pendidikan, dan bergesernya tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. 


Salah satu aktivis pendidikan, Indra Charismiadji mengajak semua orang tua yang memiliki anak-anak didik,  para guru, dosen dan mahasiswa, serta pemerhati pendidikan untuk ikut serta mengawal RUU Sisdiknas ini.  


"Jangan sampai RUU Sisdiknas ini hanya dibuat untuk melegalisasi program kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek.  Ini berbahaya jika terjadi. Sebab, UU Sisdiknas itu adalah panduan dan pedoman bangsa Indonesia di bidang pendidikan,“ kata Indra, Rabu (13/4).


Untuk diketahui, RUU Sisdiknas menggunakan konsep Omnibus yang menggabungkan tiga UU yaitu UU 20/2003 (Sisdiknas); UU 14/2005 (Guru dan Dosen),m dan UU 12/2012 (Pendidikan Tinggi). 


"Informasinya masih sangat terbatas, mengingat sampai saat ini Kemendikbud Ristek bertahan tidak membuka berkas untuk publik secara luas," tuturnya.


Website ini, kata Indra akan menjembatani kepentingan publik dan keterlibatan publik dalam pengambilan kebijakan pendidikan nasional. 


Nantinya website tersebut berisi informasi mengenai dokumen tentang pendidikan, pasal-pasal dalam draft RUU Sisdiknas yang dapat dibaca dan diberi tanggapan oleh masyarakat. Kajian dan analisis dari pemangku kepentingan juga akan diinformasikan di website tersebut.


“RUU Sisdiknas ini menyangkut masa depan pendidikan dan generasi Indonesia di masa depan.  Karena itu,  setiap warga negara berhak untuk mengetahui dokumen RUU Sisdiknas ini dan ikut terlibat penuh (meaningful participation) dalam menentukan kebijakan pendidikan, “ katanya.  


Indra menambahkan, ketika merancang RUU Sisdiknas, seharusnya berpegang pada prinsip bahwa RUU Sisdiknas dirancang sebagai dasar dari kebijakan pendidikan nasional jangka panjang. 


Namun, ada kecurigaan bahwa RUU ini dirancang untuk mengakomodir program-program Kemendikbud Ristek yang sekarang sedang berjalan.  Misalnya semua frase “peserta didik” yang digunakan dalam UU Sisdiknas 2003 diganti menjadi pelajar di RUU yang baru. 


"Selain itu fungsi pendidikan nasional diarahkan sehingga sesuai dengan profil pelajar Pancasila (beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong dan berkebinekaan global)," tuturnya.


Wakil Ketua NU Circle Bidang Pendidikan dan SDM Ahmad Rizali menjelaskan salah satu temuan paling krusial adalah draft RUU Sisdiknas sudah dijadikan sebagai rujukan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan,Kebudayaan dan Riset, dan Teknologi Nomor 14 Tahun 2022 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Guru Penggerak dan Balai Guru Penggerak.  


“Jika kami sandingkan, draft RUU Sisdiknas sudah menjadi dasar terbitnya Permendikbudristek.  Dalam Permen ini,  definisi menteri merujuk ke draft RUU Sisdiknas dan bukan ke UU Sisdiknas yang masih berlaku.  Mana mungkin hal ini bisa terjadi. Ini baru draft. Jadi ada pihak-pihak yang punya ambisi hitam dengan cara memasukkan kepentingannya dalam RUU Sisdiknas ini, “ tegasnya.  


Dengan diacunya draft RUU Sisdiknas ini dalam kebijakan resmi yang dibuat Menteri, Ahmad memastikan hilangnya nomenklatur madrasah merupakan sebuah kesengajaan.  


“Kami yakini ada kesengajaan membuang nomenklatur madrasah ini sehingga Sistem Pendidikan Nasional tidak lagi menaungi madrasah-madrasah dan pesantren yang berserak di Tanah Air,“ tuturnya. 


Dhitta Puti Sarasvati dari Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan menyatakan sebagai regulasi nasional, desain RUU Sisdiknas ini sangat buruk. 


Desain keseluruhan RUU Sisdiknas ini tidak mencerminkan sebuah kesadaran negara untuk mendidik warga negaranya agar mengenali identitas dan jati diri bangsanya serta mempertahankan keberlanjutan bangsa dan negaranya.  


“Di RUU Sisdiknas ini, pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional tidak didefinisikan. Ada beberapa perubahan fundamental yang terjadi di dalam RUU ini. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dihapuskan," kata Puti.


Padahal keduanya dinilai berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan baik di level sekolah, daerah, maupun nasional. 


"Harusnya kedua badan tersebut tidak dihapuskan tapi justru dimaksimalkan fungsinya untuk perbaikan mutu pendidikan nasional,” lanjutnya.


Menurut Puti, sistem pendidikan nasional adalah alat untuk mengakomodasi keberagaman model pendidikan dan pembelajaran, serta menjamin setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang layak untuk dirinya. Tugas pemerintah adalah memastikan sistem pendidikan nasional tersebut mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3. 


“Sistem Pendidikan Nasional ini hendaknya tidak hanya berbicara soal sekolah, tapi juga dapat menjadi dasar pemenuhan hak warga negara yang belum terfasilitasi melalui persekolahan umum, seperti masyarakat adat, pendidikan/sekolah rumah, dan aneka jenis pendidikan alternatif lain” tandasnya.


Kepala Bidang (Kabid) Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menyebut RUU Sisdiknas memicu ketidakjelasan dan ketidakadilan terhadap jenjang karir guru. 


Contoh, guru swasta yang sudah lama menjadi pegawai yayasan, lalu pindah ke sekolah lain, karirnya dari nol lagi. Hal ini juga terjadi dalam Rekrutmen Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Guru honorer atau swasta yang sudah lama mengajar dan mengikuti seleksi ini jenjang karirnya dari nol lagi. 


Sedangkan dalam RUU Sisdiknas, karir guru hanya disebut sepintas pada pasal 124 yang menyatakan bahwa “Guru bisa menjadi pemimpin dalam lembaga pendidikan.” 


“P2G menilai RUU Sisdiknas ini belum berpihak pada guru sepenuhnya, bahkan berpotensi merugikan dan merendahkan martabat profesi guru,” lanjut Iman. 


Iman juga menilai RUU Sisdiknas ini tidak menjamin  kesejahteraan guru. Oleh sebab itu P2G tetap mendorong UU Sisdiknas mengatur upah minimum profesional guru.  


Para aktivis pendidikan yang ikut memantau perkembangan RUU Sisdiknas melalui website www.kawalruusisdiknas.id antara lain,  NU Circle, Vox Populi, Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan, Jaringan Pendidikan Alternatif, Sokola Institute, Perkumpulan Homeschooler Indonesia.