JMM: Santri Garda Terdepan Tangkal Terorisme di Era Industri 4.0

Jaringan Muslim Madani (JMM) menggelar seminar penanggulangan radikalisme dan terorisme di Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/2). Seminar ini mengkaji pola terorisme di era industri 4.0.


Seminar kebangsaan penanggulangan radikalisme dan terorisme yang digelar oleh Jaringan Muslim Madani (JMM) di Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/2).

MALANG - Direktur Eksekutif JMM Syukron Jamal mengatakan bahwa era industri 4.0 ditandai dengan derasnya arus informasi. Fenomena baru ini menyebabkan pergeseran penyebaran paham dan pemikiran pada dunia digital. 


Salah satunya lewat media sosial, yang menjadi arena pertarungan ideologi dan paham atau disebut juga ghuzwatul Fikri. Tidak terkecuali paham keagamaan.  


Sementara, penyebaran paham radikalisme agama ini masih menjadi ancaman serius dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Radikalisme dapat menjadi embrio lahirnya ekstrimisme bahkan terorisme. 


“Saat ini salah satu penyebaran ideologi yang massif adalah ideologi keagamaan yang bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Seperti radikalisme, ekstremisme dan bahkan terorisme. Ini nyata dan telah masuk dalam sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara," kata Syukron, di Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/2).


Ia mengingatkan, ideologi pemurnian keagamaan pendekatan radikal merupakan salah satu ancaman yang sangat serius. Khususnya, bagi keberlangsungan suatu bangsa. Sehingga perlu disikapi secara bersama-sama oleh semua pihak, di tengah tantangan era keterbukaan informasi saat ini.


Syukron menegaskan, santri adalah garda terdepan dalam melawan gerakan paham intoleransi, radikalisem, ekstremisme dan terorisme di Indonesia. Antara lain dengan mengkampanyekan islam moderat.


Santri, sebutnya harus bisa menangkal dan mencegah ideologi keagamaan yang mengajak kepada paham intoleransi, radikalisme, ekstremisme dan terorisme.


"Kalau dulu para ulama datang ke Indonesia mengislamkan masyarakat, tetapi sekarang mereka para pembaharu datang ke Indonesia  malah mengkafirkan yang sudah islam," sambungnya.


Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, KH Muhammad Nafi lebih menyoroti peran strategis santri wanita. Yakni dalam melahirkan generasi penerus bangsa yang mampu menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.


“Santri wanita sangat prioritas untuk diberikan wawasan kebangsaan, karena peran wanita sangat penting sebagai Ibu dalam melahirkan generasi terbaik,“ jelasnya (19/02)


Sementara itu, Wali Kota Malang Sutiaji mengungkapkan bahwasanya era informasi merupakan sebuah tantangan bagi generasi muda, sebagai penerus bangsa. Karena saat ini Indonesia sudah menjadi primadona dunia. 


Banyak pihak, sebutnya tidak senang jika Indonesia maju, damai dan kondusif dengan menyebarkan berbagai ideologi merusak keutuhan bangsa. “Jika Indonesia utuh maka menjadi ancaman dunia, maka mereka menciptakan agar keadaan tidak kondusif. Untuk itu kita mesti mempertegas bahwa NKRI, dasar negara dan UUD 1945 sudah final,” kata Sutiaji.


Ia mengingatkan agar generasi muda memperkokoh kepribadian atau karakter Indonesia dalam menangkal ideologi radikal. “Gali informasi dan kuatkan literasi adalah salah satu bentuk untuk menguatkan jati diri kita sebagai generasi bangsa," tambahnya.


Dalam kesempatan yang sama, Kasubdit Kontra Naratif, Direktur Pencegahan Densus 88 Polri, Mayndra Eka Wardhana menjelaskan bahwa saat ini jaringan teroris sudah terbuka dan tidak tertutup seperti dahulu dalam merekrut anggotanya.


“Saat ini sejak Parawijayanto memimpin JI, perekrutan kader teroris secara terbuka dan berbanding terbalik saat JI dipimpin oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir,  yang secara diam-diam," jelasnya.


Mayndra juga mengingatkan gerakan paham radikal sudah massif dan marak di berbagai kampus di Indonesia. Mereka sejak 2010 menggunakan media sosial seperti FB, Twitter, Instagram dan Tiktok.  


Senada dengan Mayndra, Mantan napi teroris Hendi Suhartono mengungkapkan media sosial sangat berpengaruh dalam perekrutan orang menjadi teroris dan ini sudah dipergunakan dengan baik oleh kelompok teroris. 


"Bahkan mereka belajar tidak bertemu dengan para mentornya tetapi mereka belajar dari video-video yang tersebar di media sosial. Kita sekarang harus sangat waspada dengan percepatan informasi maka kita harus mengantisipasi dengan membuat batasan-batasan dalam memakai media," terang Hendi yang hadir secara virtual.


Ia juga mengingatkan agar pemerintah serius melakukan program deradikalisasi agar para mantan napiter tidak kembali ke kehidupan sebelumnya. 


"Program deradikalisasi sangat perlu digalakkan kembali dan sangat bermanfaat. Disana para mantan napiter diberikan belajar berbagai ilmu kehidupan yang baru,“ terangnya.


Di tempat yang sama, aktivis dan Dosen Universitas Negeri Malang, Muslihati menilai pentingnya mencegah paham radikalisme terhadap masyarakat terutama pada kalangan anak muda atau milenial.


Menurutnya radikalisme di kalangan milenial dapat dicegah sejak dini yang dimulai di lingkungan keluarga. Dari rumah, dengan mengajarkan tentang literasi keragaman dan multi budaya berbasis keluarga.


Muslihati menambahkan bahwa keragaman bukan hanya dalam agama. Fitrah manusia, sambungnya, juga ditakdirkan beragam. Mulai dari warna kulit, suku, ras, dan golongan.


“Agama kalau Allah kehendaki Islam semua bisa. Tetapi tidak seperti itu mau Allah. Kita ada laki-laki wanita. Banyak keragaman yang membutuhkan respect, toleransi butuh respect, dan keragaman adalah rahmat,” pungkas Muslihati.