Menakar Komitmen Investasi Pada Teknologi & SDM Berkelanjutan

Isu keberlanjutan menjadi isu yang krusial dan teramat penting dewasa ini. Bagi sebagian kalangan, keberlanjutan bahkan menjadi an endless issue yang terus mendapat perhatian dan pengelolaan dari waktu ke waktu. 


CEO Live Series #3 yang diselenggarakan dalam rangkaian 12th Kompas100 CEO Forum: Ekonomi Sehat 2022 Powered by East Ventures, Senin, 15 November 2021, di Jakarta. FOTO: IST

JAKARTA  - Bagi dunia usaha, isu mengenai keberlanjutan menjadi bukan hanya menciptakan proses bisnis yang memastikan keberlanjutan lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial, tetapi juga sekaligus merupakan bagian dari memastikan keberlanjutan bisnis perusahaan itu sendiri.


Demikian yang disampaikan oleh Arif Mujahidin, Communication Director Danone Indonesia, dalam CEO Live Series #3 yang diselenggarakan dalam rangkaian 12th Kompas100 CEO Forum: Ekonomi Sehat 2022 Powered by East Ventures, Senin, 15 November 2021, di Jakarta. 


Selain Arif, hadir sebagai pembicara dalam perhelatan tersebut Ketua Tim Ahli Kementerian Perdagangan RI Bayu Krisnamurthi, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Daniel S. Purba, EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero) Edwin Nugraha Putra, dan Director Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard A. Riedo.


Arif mengatakan, Danone Indonesia memiliki satu slogan unik yang menggambarkan betapa pentingnya keberlanjutan bagi Danone Indonesia, yakni One Planet, One Health. 


“Kita hanya punya satu planet, dan kita hanya hidup di bumi ini satu kali. Sehingga apa pun yang dilakukan, kita tidak boleh melakukan sesuatu yang merusak planet dan merusak kesehatan. Jadi antara human health dan planet health itu sangat interconnected,” ucap Arif.


Arif melanjutkan, inisiatif-insiatif yang dilakukan Danone Indonesia, selain juga menempatkan lingkungan alam sebagai bagian yang penting, juga menempatkan manusia sebagai sesuatu yang tak kalah penting. 


“Prinsip sustainability ini diimplementasikan di semua tempat. Di market place, di work place, hingga di environment," kata Arif dalam keterangannya, Selasa (16/11).


Danone Indonesia, lanjutnya memastikan bahwa proses produksi di industrinya tidak boleh merusak planet. Walaupun tujuan utama Danone Indonesia adalah memproduksi produk kesehatan manusia 


Demikian juga ke masyarakat. Pihaknya tidak akan bisa menjual produk bila daya beli masyarakat rendah. Danone juga tidak bisa mengantarkan produk bila lingkungan tidak baik. 


"Semua saling terkait. Oleh karena itu apa pun yang dilakukan Danone Indonesia adalah memastikan operasi kita dari hulu ke hilir tidak merusak planet,” sambungnya.


Berangkat dari pemahaman tersebut, ia menilai pada hakikatnya sustainbility bagi dunia usaha bukan hanya berarti menjaga keberlangsungan lingkungan dan masyarakat sekitar. 


Tapi yang juga tak kalah penting ialah sebenarnya bertujuan untuk menjaga perusahaan tersebut tetap dapat beroperasi dan sustain.


Terkait kesehatan manusia yang juga menjadi perhatian Danone Indonesia, Arif mengatakan itu tak lain karena kesehatan manusia sangat penting dan terkait dengan banyak hal. 


“Kita lihat pada pandemi ini, misalnya. Dimulai dari krisis kesehatan, akhirnya bisa menjalar menjadi krisis di mana-mana," terang dia.


Selama pandemi, ungkap Arief, Danone Indonesia tetap berproduksi karena termasuk dalam produk esensial. Namun ini bukan sesuatu yang mudah. 


Dua tahun terakhir situasi juga sangat penuh ketidakpastian. Tapi pihaknya percaya, jika diselesaikan bersama-sama, Indonesia akan melewati kondisi saat ini. 


Sejauh ini Danone Indonesia turut mendukung prasarana kesehatan, vaksinasi. Ia melihat Indonesia saat ini mulai pulih, sangat terasa sekali di perusahaan. Produktivitas meningkat, kegiatan bisnis mulai terasa. Itu indikator yang sangat jelas bahwa Danone, sebutnya tidak bisa berdiri sendiri. 


"Sustainability sangat interconnected dan membutuhkan kolaborasi. Perusahaan yang baik kalau dulu hanya memikirkan shareholder, kini yang dipikirkan ialah stakeholders, pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk konsumen, masyarakat, regulator, dan lain-lain,” paparnya.


Apa yang disampaikan Arif sejalan dengan apa yang disampaikan oleh SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Daniel S. Purba.


Menurut Daniel, bagi institusi usaha migas seperti Pertamina, yang memang padat modal dan mengandung risiko tinggi, menjalankan prinsip-prinsip sustainability dengan sendirinya, berarti memberikan kepastian usaha bagi perusahaan itu sendiri. 


“Untuk upstream seperti produksi minyak, misalnya. Bisa jadi kita melakukan pengeboran hari ini, tetapi produksinya baru bisa kita lakukan dalam lima tahun ke depan. Atau untuk gas, kita eksplorasi, bersyukur bila mendapat gas hari ini, baru 10 tahun lagi baru bisa kita jual," kata Daniel.


Spektrumnya, sebut dia bisa sangat panjang sifatnya. Itu sebabnya isu-isu sustainbility bagi perusahaan seperti Pertamina menjadi isu yang superkritikal bagi perusahaan, apalagi di mata investor.


Pertamina, disebut jug concern terhadap keberlanjutan. Hal itu tertuang dalam perilaku dan keputusan bisnis sehari-hari. 


Pertamina bahkan mengundang lembaga luar dengan reputasi internasional dalam mengevaluasi dan mengukur pelaksanaan prinsip-prinsip keberlanjutan di lingkungan Pertamina.  


Dalam hal transisi energi dari energi yang bersumber dari fosil menjadi sumber energi baru dan terbarukan, Pertamina juga telah menyusun rencana yang cukup panjang. 


“Kita menyusun RJPP kita setiap lima tahun. Meskipun kita menyusun RJPP dalam lima tahun, tetapi proyeknya bisa sampai 10-20 tahun," tuturnya.


Ia mencontohkan, untuk renewable energy yang hari ini secara portofolio bisnis (Pertamina) masih sekitar 1 persen, sangat kecil sekali. Tapi Pertamina sebutnya sudah punya rencana agar dalam 10 tahun ke depan, atau tahun 2030, renewable energy diproyeksikan sampai ke 17 persen.


"Jadi 17 kali lipat lebih besar dari yang sekarang dalam tempo 10 tahun ke depan. Ini adalah bagaimana kita merespons energi transisi. Mengapa, karena ini bagian dari kita memastikan sustainability perusahaan ini,” papar Daniel yang juga mengatakan bahwa adalah suatu keniscayaan semua pihak nantinya akan bergerak menuju energi baru dan terbarukan.


Sementara EVP Electricity System Planning PT PLN (Persero) Edwin Nugraha Putra mengatakan PLN melakukan dua pendekatan konseptual terkait penggunaan energi dalam pembangkitan listrik. Kedua konsep ini, disampaikan Edwin, sangat tergantung dengan perkembangan teknologi. 


"Pendekatan pertama ialah terhadap pembangkit-pembangkit listrik bertenaga fosil yang telah dibangun oleh PLN," ujar Edwin.


Ia mengatakan, bila PLN melakukan pembangunan-pembangunan pembangkit dengan energi fosil yang mendukung dan memang diperlukan demi pemenuhan kebutuhan listrik, hal tersebut bisa dipahami mengingat banyaknya sumber energi dari batu bara dan gas yang dimiliki Indonesia. 


Yang PLN lakukan kemudian ialah menerapkan teknologi-teknologi terkini yang dapat mereduksi tingkat emisi sehingga keberadaan pembangkit tersebut tidak berkontribusi besar dalam hal pencemaran lingkungan.

Kemudian pendekatan kedua, Edwin mengatakan PLN tidak mungkin menafikan kehadiran sumber-sumber energi baru dan terbarukan sebagai energi pembangkit listrik. 


Ke depan, lanjutnya PLN justru melihat masa depan akan mengandalkan penuh sumber energi terbarukan ini. Terkait hal ini, PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)-nya telah memasukkan energi baru dan terbarukan ke dalam RUPTL tersebut. 


“RUPTL  yang kita hasilkan sekarang, kita berani sebut sebagai RUPTL yang paling hijau karena 51,2 persennya itu merupakan pembangkit-pembangkit renewable energy," bebernya.


Sementara dulu, biasanya yang masuk adalah pembangkit-pembangkit dengan sumber energi fosil. Kondisi ini, sebut dia jadi jembatan utama.


Untuk jangka panjang, pada 2060, PLN juga akan menerbitkan Carbon Neutrality 2060, agar pembangkit-pembangkit energi fosil ini secara bertahap akan di-reduce emisinya sesuai dengan perkembangan teknologi. 


"Kemudian, hingga 2060 nanti, beban-beban yang naik akan kita layani dengan renewable energy,” paparnya.


Ia mengatakan, penggunaan renewable energy seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), saat ini memang masih menghadapi tantangannya sendiri, terutama terkait intermentensi yang tinggi. 


Untuk PLTS, misalnya, ketersediaannya hanya siang hari. Sementra pelanggan tidak mungkin hanya pakai listrik di siang hari. 


Bagaimana dengan di malam hari? 


Menurutny, teknologi nanti yang akan menentukan. Bagaimana teknologi baterai yang ada sekarang ini dengan keterbatasannya, terutama masalah harga. Nanti akan bisa berkembang sehingga memungkinkan kesiapan dan harga yang lebih murah dan bisa bersaing dengan energi fosil yang melayani beban dasar. 


"Sampai dengan teknologi ini berkembang, maka untuk keberlangsungan bisnis dan keberlangsungan kelistrikan, energi fosil yang kita pakai harus dilengkapi dengan peralatan teknologi yang dapat mereduksi emisi yang dihasilkan,” tutur Edwin.


Director Sustainability and Stakeholder Relations Asian Agri Bernard A. Riedo, mengatakan industri sawit termasuk industri yang heavy regulated. Ada banyak standar-standar yang harus diterapkan, yang bahkan lebih banyak bila dibandingkan dengan industri minyak nabati lainnya. 


“Di satu sisi kita harus berbangga bahwa memang kenapa kita diperlakukan standar seperti itu, itu karena kita punya daya saing yang cukup tinggi. Competitive advantages kita tinggi, produktivitas kita tinggi, sehingga ini menjadi suatu persaingan dagang di mana sawit diharapkan lebih sustainable,” ucap Bernard.


Asian Agri, disampaikannha, memandang sustainability sebagai bagian yang tak terpisahkan. Terlebih hal tersebut menjadi salah satu pilar Asian Agri selain Operational Excellence dan Smallholder Partnership, yang menjadi ruang Asian Agri untuk berkolaborasi dengan masyarakat di sekitar wilayah operasinya.


Asian Agri sebutnya telah 30 tahun memiliki pengalaman dalam hal bermitra, dimulai dari program PIR-Trans (Perkebunan Inti Rakyat). Kemitraan itu sudah masuk ke generasi kedua, yang mana untuk generasi kedua tidak hanya untuk kebunnya saja yang melalui mekanisme replanting, tetapi juga dari sisi yang mengelola, atau petaninya sendiri yang sudah masuk ke generasi kedua. 


"Yang harus kita persiapkan bersama bagaimana ke depannya tidak hanya berhenti di generasi kedua, tapi berlanjut ke generasi ketiga, keempat, dan seterusnya," sambungnya.


Dengan pengalaman panjang tersebut, pada 2018 Asian Agri, ingatnya telah mencapai pada apa yang disebut One to One Commitment, di mana satu hektar perkebunan inti berbanding dengan satu hektar perkebunan kemitraan. 


"Jadi saat ini Asian Agri sekitar 100 ribu hektar, kemitraan kita itu sudah sekitar 100 ribu hektar juga,” terang Bernard.


Pemaparan yang disampaikan sejumlah pelaku usaha mengenai sustainability action disambut baik oleh Ketua Tim Ahli Kementerian Perdagangan Bayu Krisnamurthi. 


Terkait sustainability, Bayu mengatakan setiap industri tentu memiliki standardisasinya sendiri-sendiri. Standar-standar dan praktik terbaik masing-masing industri ini sangat diharapkan tercipta melalui voluntary based dari industri. 


“Karena standardisasi untuk sawit jelas berbeda dengan listrik, beda dengan migas. Salah satu yang jadi semangat Sustainable Development Goals (SDGs) ini bukan regulasi. Yang ditetapkan itu tujuan, caranya kembali ke pelaku industri sesuai dengan karakteristik masing-masing industri,” paparnya.


Pemerintah sendiri, menurut Bayu, bisa dilihat melalui regulasi-regulasi yang ada. Setidaknya ada dua hal yang disebutkan Bayu mengenai komitmen pemerintah terkait sustainability yang bisa disebut. 


Pertama, sebutnya Indonesia sudah punya Rencana Aksi Nasional (RAN) SDGs yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Itu jadi pegangan. Sangat detail, sangat teknis di dalamnya. 


Mulai dari 17 tujuan dalam SDGs diterjemahkan menjadi target, dari target menjadi indikator, dan kemudian langkah-langkah apa yang harus dilakukan. 


"Saya melihat ini sesuatu yang sangat baik sekali. Harapannya para pelaku usaha itu mengacu ke sana dan kemudian mengembangkan rencananya masing-masing,” terang Bayu.


Yang kedua, disampaikan Bayu, saat ini telah ada yang disebut Green Economy Initiative. Ini low carbon development process yang juga sudah diterapkan oleh pemerintah. 


"Dan ini bahkan menjadi bagian dari kerja sama internasional dalam menyusunnya,” imbuhnya.


Dari sisi Kementerian Perdagangan, Bayu mengatakan saat ini aspek sustainability telah menjadi salah satu tema diplomasi internasional yang terpenting. Hal tersebut dilakukan baik dalam konteks perundingan maupun dalam diplomasi perdagangan yang konteksnya promotif. 


“Kita selalu tunjukkan, kita luruskan persepsi-persepsi yang berkembang, bahwa apa yang dicapai oleh Indonesia, apa yang dilakukan oleh Indonesia, mungkin memang belum sempurna. Tetapi sudah sangat jauh lebih advance bahkan dibandingkan dengan banyak negara pada peer group kita. Peer group melihatnya bagaimana, salah satunya bisa melalui income per capita. Dengan peer group itu, Indonesia sangat maju dan ini diakui dunia,” ucap Bayu.


Hal yang Bayu tekankan adalah mempersiapkan teknologi jangka panjang, yang akan menjadi bagian tak terpisahkan dari sustainability. Jika dikatakan 10-15 tahun mendatang, itu artinya anak SD harus sudah disiapkan. Karena 15 tahun lagi mereka yang akan jadi lulusan sarjana, yang akan bekerja mengembangkan teknologi-teknologi tadi. 


"Jadi investasi waktu, investasi SDM, investasi riset, itu sangat kritikal. Indonesia negara kepulauan, tropis, teknologinya harus disesuaikan dengan kita dan harus kita kembangkan sendiri,” pungkasnya.