AYH Ajukan Prapreradilan, Penetapan Tersangka Dinilai Tergesa-gesa

Tim Penasehat Hukum Gabungan Ahmad Yaniasyah Hasan (AYH) resmi mendaftarkan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10).

Sidang Praperadilan penetapan tersangka Ahmad Yaniasyah Hasan (AYH) oleh Kejaksaan Agung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (18/10). FOTO: IST

JAKARTA - Langkah praperadilan ini diambil lantaran penetapan tersangka dan penahanan AYH dinilai bertentangan dengan ketentuan formil yang diwajibkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Permohonan praperadilan ini didaftarkan oleh Tim Penasehat Hukum Gabungan AYH. Mereka antara lain Hasan Madani, SH, Aristo Yanuarius Seda, SH., Mahmuddin, SH., MH, J. Kamal Farza, SH., MH., dan Ifdhal Kasim, SH. LLM.,


Ifdhal Kasim dalam keterangannya menilai penetapan tersangka AYH oleh Kejaksaan Agung terkait kasus  dugaan korupsi dalam perjanjian kontrak pembelian gas bumi antara Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Gas Sumatera Selatan dengan PT DKLN, bertentangan dengan ketentuan formil yang diwajibkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


"Terkesan tergesa-gesa, dipaksakan, dan eksesif menggunakan rambu hukum yang ada," kata salah seorang penasehat hukum AYH, Ifdhal Kasim dalam keterangannya di Jakarta, Senin (18/10).


"Karna itu, hari ini kami menguji di hadapan yang mulia majelis hakim, apakah penetapan dan penahanan tersangka seperti yang dilakukan oleh Jaksa seperti itu dapat dibenarkan secara hukum?" sambungnya.

 

Menurutnya, putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015 secara tegas dan jelas menentukan bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan. 


"Dasar pertimbangannya adalah, karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap Hak Asasi Manusia, maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan," terang dia.

 

Putusan MK tersebut jelasnya, selaras dan sesuai dengan maksud dan tujuan diselenggarakannya Lembaga Praperadilan yang terdapat dalam KUHAPz Yaitu terjaminnya Hak Asasi Manusia sehingga tersangka tidak dapat diperlakukan secara semana-mena.

 

"Permohonan praperadilan yang kami ajukan hari ini adalah bermaksud menguji sah tidaknya penggunaan wewenang yang digunakan Penyidik dalam menetapkan dan melakukan penahanan terhadap klien kami (AYH)," tuturnya.


Dikatakan Ifdhal, Lembaga Praperadilan saat ini tidak hanya terbatas menguji wewenang Penyidik yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Melainkan juga penggunaan kewenangan lainnya seperti penetapan tersangka dan penahanan yang berindikasi  pelanggaran Hak Asasi Manusia

 

"Hubungan klien kami AYH dengan PD Sumsel (BUMD) adalah hubungan bisnis dengan bisnis. AYH adalah seorang profesional, pengusaha,  yang membangun usaha patungan dengan BUMD, dalam badan hukum perseroan terbatas yang legal dan sah," ujarnya.


Apalagi, sebut dia, dalam kerjasama patungan tersebut pihak swasta menggunakan uang dari modal sendiri bukan uang negara. Kegiatan jual beli dilakukan secara sah. Sebab, usaha patungan tersebut tidak menggunakan fasilitas negara atau BUMD. 


"Bagaimana nmungkin kemudian beliau  ditetapkan sebagai tersangka melakukan korupsi dan ditahan pula? Ini preseden buruk bagi dunia bisnis di Indonesia," sesalnya.

 

Menurutnya, tindakan penyidik selain tidak sejalan dengan hukum dan menghormati hak asasi manusia, juga dikhawatirkan menjadi preseden hukum yang buruk bagi iklim bisnis yang sedang digenjot oleh Presiden. 


"Akan banyak pelaku usaha yang melakukan usaha patungan (joint venture) dengan BUMN/BUMD was-was, karena sewaktu-waktu bisa saja mereka dibidik dengan mudah melakukan korupsi. Jelas ini tidak kondusif bagi usaha membangun iklim bisnis yang sehat dan kompetitif. Bagi klien kami, ini jelas telah dirampas hak asasinya," tandasnya.

 

Kendati demikian, ia memasrikan kliennya selay bersikap kooperatif sejak kasus tersebut mulai diperiksa. Tidak ada indikasi melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau mengulangi perbuatan. 


"Gimana mengulangi, klien kami saja sudah mantan, yang tidak lagi punya akses atas perusahaan daerah tersebut," lanjut Ifdhal.

 

Ia juga menyayangkan kliennya yang tidak mendapatkan pemeriksaan yang layak. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang sewenang-wenang. "Hal ini tentu menimbulkan kerugian besar juga bagi klien kami baik secara materiil maupun immaterial," pungkasnya.

 

Dalam sidang praperadilan yang dipimpin I Dewa Madebudi Watsara, SH, ada 8 poin yang masuk petitum permohonan praperadilan yang diajukan Tim Penasehat Hukum AHY, antar lain:

 

1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan praperadilan pemohon ini untuk seluruhnya;


2. Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan termohon

menetapkan pemohon sebagai tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;


3. Memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan Penyidikan terhadap pemohon yang dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan Nomor: Print-04/L.6.5/Fd.1/10/2019 tanggal 25 September 2019, Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-09/F.2/Fd.2/01/2020 tanggal 10 Januari 2020 Jo. Nomor: Print-539/F.2/Fd.2/11/2020 tanggal 12 November 2020 Jo Nomor: Print-565/F.2/Fd.2/11/2020 tanggal 27 November 2020 Jo. Nomor: Print-23a/F.2/Fd.2/04/2021 tanggal 06 April 2021 Jo. Nomor: Print-28.a/F.2/Fd.2/05/2021 tanggal 20 Mei 2021;


4. Menyatakan tidak sah menurut hukum Penahanan terhadap pemohon sesuai Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: F.2./Fd.2/09/2021 tanggal 08 September 2021 sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah  diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;


5. Memerintahkan kepada termohon untuk membenaskan Tersangka Dr. Ahmad Yaniarsyah Hasan, S.E., M.M., (Pemohon dalam perkara Praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan;


6. Menghukum termohon untuk membayar ganti kerugian materiil Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta Rupiah) dan kerugian immaterial sebesar Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah);


7. Melakukan rehabilitasi dan mengembalikan kedudukan hukum pemohon sesuai dengan harkat dan martabat dari pemohon;

8. Menghukum termohon untuk membayar biaya perkara a quo;

atau:

 

"Apabila yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono)," pungkasnya.


Sidang ditunda besok, Selasa 19 Oktober 2021 untuk mendengarkan jawaban termohon Kejaksaan Agung.