Prof Romli: 'Penumpang Gelap' Di Balik Polemik TWK KPK

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Romli Atmasasmita menyebut ada penumpang gelap di balik polemik alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).


Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Jawa Barat. FOTO: NET

JAKARTA- Perumus UU KPK ini berpandangan, penentuan kelulusan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) itu sudah sesuai aturan main atau ketentuan Undang-Undang. Sehingga, tak ada lagi yang perlu dipersoalkan.

"Kasus 75 eks KPK sudah sesuai dengan UU. Tidak ada yang keliru," kata Prof Romli ketika dikonfirmasi, Selasa (22/6).

Ia menduga, reaksi pegawai KPK yang tidak lulus lebih karena sudah merasa berjasa dalam melakukan pemberantasan korupsi. "(Merasa) tidak perlu tes," sebutnya.

Kedua, sambung Romli, sejak revisi UU KPK pegawai lembaga anti rasuah itu menolak karena ASN dibatasi usia 35 tahun dan paling tinggi 58 tahun. Sementara untuk jabatan deputi maksimal 60 tahun.

"Diantara merek ada yang lewat batas waktu usia tersebut," tandasnya.

Ketiga, pegawai KPK sebut Prof Romli, sudah nyaman menikmati privilege atau hak istimewa sejak tahun 2003 sampai dengan 2020 atau selama 17 tahun sebagai non- ASN dengan segala fasilitas tanpa ada yang mengawasi.

"Ada pihak eksternal yang jadi 'penumpang gelap' dalam penolakan tersebut karena kepentingan pribadi, politik dan golongan," sebut Romli.

Menurutnya, pengaduan pegawai KPK yang tidak lolos TWK ke sejumlah lembaga seperti Komnas HAM, Mahkamah Agung hingga Mahkamah Konstitusi adalah hak sebagai warga negara yang dilindungi konstitusi.

"Seharusnya sebagai penegak hukum dan paham hak sesuai konstitusi hanya ada dua mekanisme yang dibenarkan menurut UU, yaitu ke peradilan tata usaha. Ke MK pengujian UU terhadap UUD, yang mereka soal adalah Peraturan Komisi (Perkom) No 1 tahun 2020, yang seharusnya diuji ke MA," pungkasnya. (AL)