Memancing Adrenalin Politik & Teori Peran Pilpres 2024

Mengapa ia begitu diributkan? Karena ia diperebutkan? Apa yang diperebutkan? Jabatan dan kekuasaan dalam berbagai level kepemimpinan.


Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie. FOTO: IST

    Itu petikan dari 'Teori Peran' yang nyatanya berlaku abadi dalam tiap momen dan event politik. Tidak hanya di Indonesia. Tapi juga diseluruh dunia.

    Karena itulah menjelang proses kandidasi pilpres 2024 banyak bermunculan kelompok-kelompok pendukung yangg mendeklarasikan dukungannya kepada figur atau tokoh politik tertentu. Sebagai upaya melempar wacana dan menggagas komunikasi politik agar nama yang didukung diperhitungkan atau paling tidak masuk dalam radar survey.

    Ini tentu tidak salah. Kelompok pendukung itu bahkan diakomodasi secara teoritis dalam komunikasi politik selain organisasi partai. Hub interpersonal. Media massa dan media sosial serta kelompok kepentingan. Keempat kategori itu diakui secara keilmuan sebagai 'media komunikasi politik'

    Upaya melempar wacana dan testing the water yang dilakukan kelompok kepentingan misalnya, kelompok yang mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi-Prabowo, Prabowo-Puan, Anies-Ridwan Kamil, Ganjar-Anies atau AHY-Ridwan Kamil.

    Bisa jadi akan menjadi kesempatan dan relawan yang benar-benar memperjuangkan nama nama. Yang didukungnya sampai benar-benar bisa dipastikan maju dalam pilpres. Tentu saja berharap terpilih seperti kelompok pendukung Jokowi-JK (2014) dan Jokowi Ma'ruf-Amin (2019). Kemudian mereka mendapat positioning politik pasca keterpilihan figur yang dijagokan.

    Namun, dantara sekian banyak kelompok pendukung, ada yang mengganjal logika publik. Yakni munculnya dukungan utk Jokowi-Prabowo untuk maju di Pilpres 2024.

    Kelompok ini seperti sengaja memancing adrenalin dan 'insting' politik Jokowi untuk melanggar janji politiknya. Untuk menjadi pemimpin sesuai Undang-Undang yang berlaku saat ini yakni cukup dua periode.

    Meskipun, Jokowi baik secara langsung maupun melalui juru bicaranya selalu mengatakan bahwa mereka yang memintanya untuk maju menjadi presiden lagi pastilah mereka yang ingin: menampar muka saya, kedua mereka yang mencari muka dan mereka yang ingin menjerumuskan saya 

    Penolakan itu disampaikan dua kali oleh Presiden Jokowi yakni 2 Februari 2019 dan 15 Maret 2021. Jokowi tidak ada niat dan tidak berminat jadi presiden utk ketiga kalinya.

    Jadi, jika masih ada individu atau kelompok yang berusaha merayu, menggoda, memancing dan menjebak Jokowi utk menerobos UU dan janji politiknya sendiri. Sudah seharusnya Jokowi sadar bahwa ada mereka yang tengah menampar mukanya. Atau mencari muka Jokowi. Padahal, ia sudah punya muka.

    Dan pastinya ingin menjerumuskan Jokowi untuk tidak sukses menjadi pemimpin yang taat konstitusi meski segudang prestasi pembangunan diklaim sukses dilakukan di era kepemimpinannya.

    Jadi sejatinya, tentang apa, siapa dan bagaimana kepemimpinan Indonesia diwariskan pasca-Jokowi. Pertarungan politik melalui media komunikasi politik lainnya yang menentukan.

    Baik organisasi, interpersonal, media massa dan sosial yang bisa digerakkan secara bersama-sama Jokowi bisa duduk manis secara terhormat setelah berakhir periodenya dengan jejak kepemimpinan yang menapak dan menjejak bahwa ia pemimpin yang taat konstitusi. 

    Tak terjebak pada rayuan dan bujukan politik yang hanya ingin menampar.mencari muka. Dan menerumuskannya tadi.

    Kepemimpinan itu sekedar menggilir peran. Setiap orang ada masanya. Setiap masa ada orangnya.

    Lely Arrianie

    Pakar Komunikasi Politik, Mantan Staf Ahli Ketua MPR dan lulusan doktoral terbaik Universitas Padjadjaran, Bandung