Dalil Kuat UU CK Cacat Formil, KSPI: Tak Bisa Dibantah

Berikut ini, alasan yang mendasari KSPI menyebutkan UU Cipta Kerja (UU Ciptaker) cacat formil.


Gedung Mahkamah Konstitusi. FOTO: MKRI

JAKARTA - Presiden KSPI Said Iqbal merinci sejumlah alasan kuat mengajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Untuk diketahui, Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 atas nama Riden Hatam Azis dkk adalah anggota KSPI. Ia mendalilkan bahwa penetapan RUU CK dalam Prolegnas 2020 tidak sah karena tidak memenuhi satu pun syarat dari 10 persyaratan pembentukan undang-undang.

"Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU PPP dan Peraturan DPR mengenai Prolegnas yang kemudian diubah dengan Peraturan DPR mengenai Pembentukan UU," kata Said Iqbal, Sabtu (19/6).

Untuk membuktikan dalil tersebut KSPI mengurai bahwa UU CK tidak pernah diperintahkan pembentukannya oleh UUD 1945, TAP MPR, ataupun UU yang lain. Pembentukan UU CK juga disebut tak didasari oleh adanya rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR.

"Jangankan menjadi rencana strategis, DPR bahkan baru mengetahui rencana pembentukan UU CK setelah datang usulan dari Presiden," jelasnya.

Disebutkan pula, UU CK juga tidak termasuk dalam RUU Prolegnas periode keanggotaan DPR sebelumnya dan bukan pula dibentuk berdasarkan hasil pemantauan dan peninjauan UU yang dilaksanakan oleh DPR, DPD, dan Pemerintah.

Lalu, jika didasari oleh Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), juga tidak beralasan menurut hukum.

Sebab, visi yang ingin dicapai oleh UU CK nilai KSPI menyimpang dari visi yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang SPPN dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025.

"Visi pembangunan nasional yang ingin dicapai UU CK adalah 'Visi Indonesia 2045' atau 'cita-cita Indonesia maju 2045' sedangkan visi pembangunan nasional yang ditetapkan dalam UU SPPN dan UU RPJPN periode waktunya terbatas sampai dengan tahun 2025," sebut Governing Body Organisasi Buruh Internasionaln (ILO) itu.

Karenanya, sambung dia, RPJMN pun tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembentukan UU CK. Sebab RPJMN tidak boleh menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam UU SPPN dan UU RPJMN. Lebih dari itu, jangkauan RPJMN juga dibatasi paling lama hanya lima tahun, yaitu sampai tahun 2024.

Pembentukan UU CK juga tidak beralasan hukum jika didasari karena alasan adanya aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.

"Sebab faktanya sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan tahap pengundangan, UU CK justru mendapat penolakan keras dari ratusan juta rakyat Indonesia sebagaimana disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintahan di daerah," tuturnya.

Dari seluruh dalil, argumentasi, dan bukti-bukti yang disampaikan oleh KSPI melalui Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 diatas, tidak satu pun yang dibantah oleh DPR dan Pemerintah.

Kedua, penetapan RUU CK dalam Prolegnas 2020 menurut KSPI melalui Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 juga cacat formil sebab merujuk ketentuan Pasal 19 UU PPP sebelum sebuah RUU ditetapkan dalam Prolegnas, Naskah Akademik dari RUU bersangkutan semestinya sudah diterima DPR.

Faktanya, RUU CK ditetapkan dalam Prolgenas 2020 pada Rapat Paripurna DPR tanggal 22 Januari 2020, sedangkan Naskah Akademik RUU CK baru diserahkan pemerintah kepada DPR pada 21 hari kemudian, yaitu tanggal 12 Februari 2020.

Ketiga, DPR dan Pemerintah juga disebut tidak mampu membantah dalil Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021, terkait pembentukan UU CK yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan sistematika baku penyusunan perundang-undangan yang ditetapkan dalam UU PPP. Misalnya saja soal prosedur pembuatan judul undang-undang.

Dalam BAB I huruf A Lampiran II UU PPP telah ditetapkan tata cara dan prosedur pemberian judul undang-undang yang berfungsi sebagai 'undang-undang perubahan'.

Adapun dalam BAB IV huruf E ditetapkan tata cara dan prosedur mengenai pemberian judul undang-undang yang berfungsi sebagai 'undang-undang pencabutan'.

Prinsip yang ditetapkan dalam ketentuan adalah judul undang-undang perubahan atau undang-undang pencabutan tidak boleh menggunakan nama lain atau menggunakan nama yang berbeda dari undang-undang yang diubah atau dicabut.

Satu-satunya pengecualian hanyalah dengan menambahkan frasa 'perubahan atas' atau frasa 'pencabutan atas' di awal judul undang-undang perubahan atau undang-undang pencabutan.

Fakta lain, urai SaidbIqbal, 78-79 undang-undang yang diubah oleh UU CK, semua judulnya diubah dan diganti dengan judul baru yaitu 'Cipta Kerja'. Begitu juga dengan Undang-Undang Gangguan dan Undang-Undang Wajib Daftar Perusahaan yang dicabut, dihilangkan judulnya lalu berganti dengan judul baru “Cipta Kerja”.

Keempat, DPR dan Pemerintah juga dinilai tidak mampu menjawab dalil Anggota KSPI, yaitu Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 terkait tidak sesuainya penyusunan “Ketentuan Umum” dan “Ketentuan Pidana” dalam UU CK dengan tata cara dan prosedur yang ditetapkan dalam UU PPP.

Merujuk teknik penyusunan peraturan perundang-undangan menurut ketentuan BAB I huruf C.1 butir 96 Lampiran II UU PPP, Ketentuan Umum dalam sebuah undang-undang hanya boleh dimuat dalam satu bab yang dimuat dalam BAB I.

Faktanya, dalam UU CK terdapat banyak sekali materi Ketentuan Umum yang disusun atau diletakan secara terserak atau terpencar di sejumlah bab.

Demikian pula dengan penyusunan bab mengenai Ketentuan Pidana dalam UU CK yang juga disusun atau diletakan secara terserak atau terpencar di sejumlah bab.

Padahal, dalam ketentuan BAB I huruf C.3 butir 115 Lampiran II UU PPP telah dinyatakan sebuah undang-undang tidak dibenarkan memuat Ketentuan Pidana secara terserak atau terpencar melainkan harus dihimpun dalam satu bab tersediri dengan tata letak yang tidak boleh ditempatkan sebelum materi pokok atau setelah bab mengenai ketentuan peralihan.

Kuasa hukum pemohon, yaitu Nasef menambahkan bahwa masih banyak lagi dalil, argumentasi, dan bukti-bukti lain yang diajukan oleh Riden Hatam Azis, yang semuanya dinilai tak mampu dibantah oleh DPR dan Pemerintah pada persidangan, Kamis (17/6).

Oleh sebab itu, Nasef selaku kuasa hukum memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menolak seluruh keterangan DPR dan Pemerintah terutama yang terkait dengan gugatan KSPI melalui Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021.

Said Iqbal meminta yang mulia hakim MK menolak keterangan pemerintah dan DPR yang disampaikan dalam sidang uji formil uu cipta kerja di MK pada 17 juni 2021 yang lalu.

KSPI juga menolak permintaan pemerintah yang diwakili oleh Menko Perekonomian yang meminta MK menolak semua gugatan pemohon. "Jelas ini sikap arogan pemerintah," pungkas Said. (AL)