Cerita AHY Soal UU Omnibus Law Hingga Wacana Presiden 3 Periode

Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menceritakan bagaimana perjalanan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law di Senayan. Termasuk merespons wacana presiden 3 periode.


Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Foto: IST

JAKARTA - "Kita punya cerita tidak enak," cerita AHY, ketika melakukan media visit di Bandung, Jawa Barat, Jumat (4/6) lalu.

Kisah AHY, ada banyak kejanggalan dalam perjalanan pembahasan UU Omnibus Law yang dialami anggota DPR dari fraksi partainya.

Mulai dari tiba-tiba dibawa keluar kota yang orang tidak tahu kemana. Tengah-tengah malam dan jam-jam tidak wajar.

"Tiba-tiba diharuskan dalam 24 jam putus diketuk, produk tidak ada, tiba-tiba disahkan. Lalu, kita mau bicara mengangkat suara tidak boleh, mic dimatikan," kenangnya.

Itu hanya sekelumit kejanggalan yang bisa diceritakan. Yang jelas, AHY menyayangkan kenapa kemudian UU Omnibus Law itu tetap disahkan. Seakan, DPR tutup mata pada ratusan ribu demonstran yang turun ke jalan, berbondong-bondong di masa Covid-19.

"Tidak dipedulikan, karena, ya sudah harus terjadi," tuturnya. "Aneh bin ajaib," kesal AHY.

Ketika palu diketuk, pimpinan DPR nilainya tidak bisa menjelaskan produk Undang-Undang yang diketuk itu yang mana. Sebab, pada waktu itu, beredar UU Omnibus Law dalam berbagai versi.

Mulai dari 800 sekian halaman, 900 halaman, 1000 sekian halaman, dan balik lagi. Beda-beda. "Kalau kurang titik koma masih mending, itupun tidak boleh," lanjutnya.

Publik, nilai AHY seakan-akan dianggap tidak mengerti dan bodoh atas segala kesimpang-siuran yang terjadi itu. Padahal banyak cacat prosedur dan cacat substansi dalam pengesahannya.

Itulahbmengapa banyak yang marah. Ada jutaan kaum buruh, yang tergabung dalam serikat-serikat atau konfederasi pekerja, merasa tidak diajak bicara.

"Mereka merasa kalaupun diajak bicara itu cuma formalitas dan tidak benar-benar didengarkan aspirasinya. Jadi, ada yang sangat diuntungkan dan banyak yang sangat dirugikan, tidak adil, berat sebelah," kritik AHY.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman semacam ini, ia melihat Undang-Undang gampang sekali dikutak-katik, diakalin, hingga akhirnya kemudian seolah-olah tidak dibahas lagi. "Tiba-tiba jeger muncul dan hitungan jam," imbuhnya.

Ia khawatir, pengalaman pengesahan UU Omnibus Law yang memancing banyak kemarahan publik itu terulang dalam pembahasan produk legislasi lainnya.

"Setelah itu masa bodoh, yang penting ikut saja. Dan, saya tidak tahu apakah kemudian tiba-tiba wacana tiga periode ini, tiba-tiba juga diam-diam diselipkan, tiba-tiba langsung diketuk saja," tandasnya.

Karena itu, ia mengingatkan kader Demokrat yang duduk di DPR maupun MPR untuk lebih jeli. Khususnya terkait wacana presiden 3 periode yang terus digembar-gemborkan.

"Kami hanya bisa mengingatkan memantau, dan mengawasi jangan sampai tiba-tiba kecolongan, tiba-tiba kayak begitu lagi ketuk palu saja," ingatnya.

Soal jabatan presiden tiga periode, secara fundamental kata AHY ahistoris. "Kalau kita lupa ingatan, boleh saja. Tetapi, rasanya masih sehat, tidak lupa ingatan bahwa dulu Indonesia mengoreksi dirinya sendiri pada tahun 1998. Salah satu yang paling fundamental dari reformasi adalah pembatasan masa jabatan presiden Republik Indonesia yang katanya setelah dianalisa oleh sejarah, itu yang menyebabkan terjadinya praktik-praktik yang abuse of power, KKN ataupun istilahnya yang kemudian menjadi gurita yang akhirnya sulit untuk diselesaikan," tegasnya.

Ia khawatir, setelah tiga periode tak puas, malah minta 4 periode. Baru setelah itu dibuka kerannya agat bisa menjabat seumur hidup.

"Alasan kita kan masih hebat, masih kuat, masih diperlukan. Kalau seperti itu rasa-rasanya darah, keringat, air mata para reformis, para pejuang reformasi itu seperti tidak ada harganya," sesalnya.

Jangan sampai, terang AHY ada pihak-pihak yang ingin mengaburkan sejarah demi kekuasaan.

"Jangan gitu-gitu bangetlah kalau ingin berkuasa, ya. Maksud saya, harus ingat sejarahnya, mengapa era reformasi ini muncul," pungkasnya. (*)