Efektivitas Vaksin Tinggi, Tapi Kenapa Masih Wajib Masker?

Tingginya efektifitas Vaksin Covid-19 Sinovac terhadap tenaga kesehatan (nakes) tidak merepresentasikan populasi umum.

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan tingginya efektifitas Vaksin Covid-19 Sinovac terhadap tenaga kesehatan (nakes) tidak merepresentasikan populasi umum. Karena itu, semua yang sudah divaksin masih harus tetap menggunakan masker.


Epidemiolog Griffith University, Australia Dicky Budiman memamerkan makanan favorit lebarannya tahun ini, yaitu cireng. Foto: IST

JAKARTA - Dicky mengapresiasi uji vaksinasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terhadap nakes. Menurutnya, perkembangan vaksinasi harus terus dimonitor di dunia nyata.

"Memonitor vaksinasi ini memang harus dilakukan melalui uji-uji di dunia nyata. Ini hal yang bagus," kata Dicky lewat pesan suara, Jumat (14/5).

Ia menyarankan agar efektifitas vaksin dimonitor secara berkala. Tidak harus setiap bulan. Setidaknya dalam periode-periode yang dinilai penting. Misal, ketika muncul varian baru.

"Ini bermanfaat. Setidaknya dengan angka sebesar itu, para tenaga kesehatan bisa memanfaatkan data ini untuk meredam vaksin resistensi. Orang yang ragu dan lainnya," sambungnya.

Namun, Dicky menilai tingginya efikasi Vaksin Covid-19 merk Sinovac terhadap nakes tak mengagetkan. Tidak cuma Sinovac, tapi juga merek vaksin lain seperti Pfizer, Astra Zeneca dan lainnya. Hampir semua merk vaksin Covid-19, efektifitasnya memang cenderung jauh lebih tinggi dari data efikasinya. Karena, efikasi tidak selalu sama dengan efektifitas. "Jadi, tidak usah kaget ya."

Akan tetapi, tingginya efektifitas vaksin terhadap nakes tak bisa merepresentasikan populasi umum. Apalagi penelitian restrospektif punya tingkat kepercayaan di bawah penelitian prospektif.

"Tentu beda, perilaku nakes jauh lebih terjaga dari populasi umum. Harus dilakukan juga prospective core study untuk populasi umum. Banyak data penting kadang-kadang gak ada, jelas retrospektif ini tidak mereprestasikan populasi," jelasnya.

Selain itu, penelitian retrospektif juga rawan selection bias. Apalagi penelitiannya dilakukan ketika virus varian baru ketika belum ditemukan. Misalnya virus varian B117. Menurut Dicky, perlu ada studi lanjutan. Sebab, perbedaan faktor ini harus dilihat lagi efikasinya.

Tidak bisa apple to apple. Sebab yang dubandingkan adalah clinical trial. Uji atau studinya berbeda. "Karena itu, meskipun sudah divaksin tetap harus 5M," sarannya.

Seperti diketahui, studi Kemenkes terkait efektifitas vaksin Covid-19 terhadap nakes di DKI Jakarta cukup tinggi. Studi menggunakan desain kohor retrospektif menggunakan data sekunder vaksinasi, PCR, dan data perawatan RS selama periode 13 Januari - 18 Maret 2021.

Penelitian dilakukan pada yang sudah divaksinasi maupun yang belum divaksinasi. Termasuk yang baru mendapat dosis pertama maupun yang sudah lengkap dua dosis.

Hasilnya, vaksin Sinovac dosis lengkap bisa mengurangi risiko 94 persen Covid-19 bergejala. Selain itu, vaksinasi juga efektif dalam mencegah 96 persen perawatan karena Covid-19. Vaksinasi penuh juga disebut efektif mencegah 98 persen kematian karena Covid-19.

Sementara efektivitas vaksinasi parsial atau satu dosis sekitar 7, 14, 21 hingga 28-63 hari setelah divaksin hanya 13 persen kepada Covid-19 bergejala dan 53 persen pada perawatan akibat Covid-19.

Ketua Tim Peneliti Survei Efektivitas Vaksin Sinovac Kementerian Kesehatan dr. Panji Dewantara mengatakan survei itu melibatkan 128.290 orang. Dengan 60 persen diantaranya perempuan dengan usia rata-rata 30 tahun.

"Vaksinasi lengkap amat disarankan karena jauh lebih efektif menurunkan risiko Covid-19," kata dr Panji.

Efektifitas vaksin ini melampaui hasil uji efikasi vaksin Sinovac yang dilakukan BPOM sebelumnya, yakni 65 persen.