MUI Tak Keberatan Sertifikasi Halal Diambil Alih Pemerintah, Asal...

Sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak Omnibus Law Ciptaker ditengarai karena ada diksi di Undang-Undang yang membuat fatwa halal MUI diambil alih oleh pemerintah. Apa iya?

Penjelasan tentang logo halal milik MUI. Foto: Twitter

JAKARTA - Soal ini, ramai digosipin netizen. Sampai-sampai tagar #bubarkanMUI trending di Twitter hingga tadi malam.

Waketum MUI Muhyiddin Junaid menyanggah tudingan itu. "Seandainya pemerintah pun ingin mengambil alih seluruhnya, silahkan saja. Ya MUI tidak keberatan kok," kata Muhyiddin, Ahad (18/10) malam.

Dengan syarat, lanjut Muhyiddin pemerintah sudah memiliki sumber daya manusia yang mencukupi. Ia memastikan MUI tidak anti sertifikasi halal diambil alih.

Pemerintah, kini sudah punya lembaga sertifikasi halal sendiri. Namanya; Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Badan yang berada di bawah Kementerian Agama ini didirikan pada tahun 2017 lalu.

Yang mengganjal bagi MUI, kata Muhyiddin adalah terkait aturan self declare. Karena dengan aturan ini, sertifikasi halal langsung bisa dikeluarkan cukup dengan surat pernyataan dari pelaku usaha, bahwa mereka sudah memenuhi standar BPJPH untuk disertifikasi. Tanpa harus melakukan cek on the spot, sebagaimana dilakukan MUI selama ini.

"Itu kita berkeberatan. Harus dicek dulu, tidak semua UMKM atau ultra mikro dengan jujur mengatakan produknya bebas dari unsur haram," tandasnya.

Seperti diketahui, MUI termasuk salah satu kelompok yang menyuarakan penolakan Omnibus Law UU Ciptaker. Penolakan itu bahkan secara terbuka disampaikan di hadapan presiden, di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (18/10) lalu.

Pertemuan antara Jokowi dengan MUI ini berlangsung sekitar 2 jam. Dari pukul 9 pagi, hingga jelang waktu shalat Jumat.

"Kami MUI diundang oleh Bapak Presiden," ungkap Waketum MUI Muhyiddin.

Setelah pertemuan 2 jam itu sikap MUI tidak berubah. Mereka meminta agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu pembatalan UU tersebut.

Namun, Jokowi juga enggan. Karena UU tersebut adalah inisiatif pemerintah. Bukan DPR.

"Yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah membuat peraturan pemerintah (PP) yang aspiratif terhadap keinginan masyarakat," ucapnya, menirukan respons Presiden.

Dikatakan, sikap ini diambil MUI setelah menerima banyak masukan dari sejumlah Ormas, ikatan dan asosiasi profesional. Penolakan itu juga sudah disampaikan ke DPR, setelah membentuk membentuk tim dan mengadakan konsinyering mengkaji UU tersebut.

Kegaduhan yang terjadi selama ini, menurut Waketum MUI itu karena publik belum tahu yang mana naskah asli. "Akhirnya kami menerima naskah asli Omnibus Law, dari pak Pratikno, Mensesneg," tuturnya.

Dengan adanya naskah ini, MUI akan melakukan kajian dan menyampaikan pandangan dalam waktu dekat. MUI, sambung jebolan Universitas Islam Libya itu juga belum memutuskan apakah akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau tidak.