Ruang Hampa Qanun Sampah Di Ibu Kota Serambi Mekkah

Qanun kita hari ini mungkin lengkap. Tapi jiwanya belum hidup. Siyasah syar’iyyah sebagai ruh kebijakan belum menyentuh akal dan hati rakyat.

Dari 23 kabupaten dan kota di Aceh, Banda Aceh punya posisi khusus. Kota ini bukan sekadar kawasan permukiman. Ia adalah ibu kota. Pusat pemerintahan, lalu lintas barang dan jasa, serta tumpuan layanan publik ada di sini.

Farhan Nurhadi

BERSAMAAN dengan itu, muncul beban yang tak kecil: sampah. Setiap hari, lebih dari 200 ton sampah dihasilkan. Organik dan non-organik. Namun, yang lebih mengkhawatirkan bukan volume sampahnya, tapi cara kita menyikapinya.

Ada aturan. Qanun No. 01 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah. Sebuah kebijakan berbasis siyasah syar’iyyah—gagasan Islam tentang tata kelola publik demi kemaslahatan. Tapi sudah delapan tahun berlalu, qanun ini belum menunjukkan hasil berarti.

Masalahnya bukan di teks hukum. Tapi di kepatuhan yang rendah. Pengawasan lemah. Partisipasi publik minim. Banyak yang masih menganggap urusan sampah adalah urusan pemerintah semata.

Padahal, pengelolaan sampah bukan hanya soal teknis. Bukan cuma angkut-buang. Tapi juga soal moral. Soal tanggung jawab sosial. Soal kesadaran bersama bahwa lingkungan bersih adalah hak semua orang.

Sayangnya, semangat itu belum tampak. Masih sering kita jumpai orang melempar sampah dari jendela mobil. Di kota yang katanya serambi Mekah, pemandangan seperti itu bukan lagi kejanggalan. Tapi kebiasaan.

Ini ironi. Terlebih jika kita bandingkan dengan masa lalu. Kerajaan Islam di masa silam menjadikan pengelolaan lingkungan sebagai bagian dari ibadah. Bukan sekadar tugas administratif.

Di masa Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam dikenal bukan hanya karena kekuatan militernya. Tapi juga karena ketertiban kota dan penegakan hukum. Sampah bukan hanya masalah kotor, tapi maksiat sosial yang bisa mengundang murka Tuhan.

Kebijakan saat itu berpijak pada syariat dan adat. Pasar, pelabuhan, hingga kampung-kampung diawasi. Mereka yang melanggar dikenai sanksi agama dan sanksi adat sekaligus. Bukan untuk menakut-nakuti. Tapi untuk menjaga maslahah ‘ammah—kemaslahatan umum.

Prinsip ini senapas dengan ayat dalam Al-A’raf: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” Kerusakan itu bisa datang dari tindakan kecil yang berulang. Termasuk membuang sampah sembarangan.

Qanun kita hari ini mungkin lengkap. Tapi jiwanya belum hidup. Siyasah syar’iyyah sebagai ruh kebijakan belum menyentuh akal dan hati rakyat. Aturan menjadi teks kosong jika tak dibarengi dakwah dan keteladanan.

Pemimpin hari ini bisa belajar dari sultan masa lalu. Bukan hanya membuat aturan, tapi juga membangkitkan kesadaran. Ulama dan tokoh adat jangan hanya diundang saat peluncuran program. Libatkan mereka sebagai penggerak moral masyarakat.

Kelalaian terhadap lingkungan bukan hanya masalah sosial. Tapi juga kegagalan spiritual. Kesadaran tidak tumbuh dari teks semata. Ia harus ditanam, dirawat, dan ditumbuhkan lewat aksi.

Islam sudah memberi prinsipnya: “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” Ini bukan sekadar slogan. Ini prinsip hidup. Menjaga kebersihan bukan sekadar menjaga tubuh. Tapi juga menjaga martabat.

Karena itu, menjaga lingkungan adalah bentuk keimanan aktif. Perubahan hanya bisa terjadi jika tindakan mendahului retorika. Jika keteladanan mendahului kampanye.

Kita tak kekurangan qanun. Yang kita kekurangan adalah kesadaran. Sejarah telah memberi contoh. Sultan-sultan terdahulu tidak menunggu masyarakat sadar. Mereka yang menyalakan kesadaran itu, dengan dakwah dan penegakan hukum yang tegas.

Kini giliran kita. Bukan untuk memuja masa lalu. Tapi melanjutkannya. Dalam bentuk aksi. Dalam bentuk tanggung jawab.

Karena syariat bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan. Tapi juga dengan manusia, dan dengan alam. Allah telah mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41).

Kerusakan lingkungan adalah cermin. Ia memantulkan kegagalan kita menjaga amanah sebagai khalifah di bumi. Dan sering kali, kerusakan itu dimulai dari tindakan kecil yang dianggap sepele—seperti membuang sampah.

Ayat ini bukan sekadar teguran. Tapi undangan untuk bertobat. Untuk berubah. Jalan itu ada. Jalan kesadaran. Jalan penghambaan. Jalan maslahah.

Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Ilmu Agama Islam, Konsentrasi Figh Modern Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh


Jangan ketinggalan berita! Ikuti saluran WhatsApp kami! Klik di sini

Ikuti saluran WhatsApp kami, agar tidak ketinggalan informasi penting terbaru! Klik di sini