Pasar Saham Menguat, Tapi Tekanan Global Masih Jadi Momok Rupiah

IHSG menguat, rupiah melemah, risiko eksternal masih membayangi stabilitas ekonomi
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat tipis sebesar 0,41 persen ke level 6.296 pada perdagangan Rabu, 7 Mei 2025. Namun, mata uang rupiah justru melemah 0,53 persen ke posisi Rp16.536 per dolar AS di pasar spot.

Ilustrasi. Foto: pixabay/@Pexels

JAKARTA - Mengacu data Bursa Efek Indonesia (BEI), nilai transaksi IHSG hari ini mencapai Rp15,6 triliun. Jumlah transaksi tercatat sebanyak 1,45 juta kali, dengan volume perdagangan mencapai 27,3 miliar saham.

Beberapa saham mencatatkan lonjakan tajam dan masuk daftar top gainer, seperti HUMI yang naik 12 poin, NICL 175 poin, BATR 21 poin, ISEA 19 poin, AYLS 22 poin, dan MPXL 20 poin.

Data Bloomberg menunjukkan rupiah spot terkoreksi 87 poin. Sementara itu, Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) mematok kurs rupiah di level Rp16.533 per dolar AS, melemah dibanding sehari sebelumnya di Rp16.472.

Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, mengungkapkan kondisi rupiah sebenarnya mulai membaik pasca-Lebaran. “Sekarang (rupiah) sudah berada di kisaran hari ini Rp16.500-an,” ujarnya, Rabu (7/5), di Kantor BI, Jakarta.

Menurut Erwin, penguatan ini merupakan hasil dari intervensi BI sejak awal April. Kala itu, rupiah sempat menyentuh Rp17.000 per dolar AS di pasar luar negeri.

Namun, ia mengingatkan risiko eksternal tetap perlu diwaspadai, terutama dari arah suku bunga global dan kebijakan tarif AS, yang berbarengan dengan tanda-tanda perlambatan ekonomi dalam negeri.

BI mencatat, dari 28–30 April 2025, investor asing mencatatkan beli neto Rp4,15 triliun, yang sebagian besar mengalir ke Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Namun, secara total sepanjang tahun berjalan, pasar keuangan domestik masih mencatat jual neto Rp38,6 triliun.

Erwin menegaskan BI tetap berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar. “Jika perlu, intervensi dilakukan di pasar spot, DNDF, offshore, maupun pasar SBN,” katanya.

Dari sisi eksternal, pelaku pasar menanti keputusan suku bunga The Fed yang dijadwalkan keluar Kamis malam waktu AS. Menurut Reuters, kemungkinan besar The Fed akan mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25–4,5 persen.

Kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump juga menciptakan ketidakpastian yang bisa mendorong inflasi dan pengangguran di AS. Ini memperbesar dampaknya terhadap pasar global, termasuk Indonesia.

Peneliti dari Indef, Abdul Manap Pulungan, mengatakan keputusan The Fed kemungkinan hanya berdampak sementara terhadap pasar keuangan domestik. “Nilai tukar saat ini sebetulnya sudah mulai menguat meski belum mampu kembali ke asumsi sebesar Rp16.000 per dolar AS,” katanya.

Ia menambahkan, suku bunga acuan BI sebaiknya tak buru-buru diturunkan, mengingat tekanan terhadap rupiah belum sepenuhnya reda.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Rizal Taufikurahman, mengingatkan bahwa stabilitas sektor keuangan harus dijaga dengan ekstra hati-hati. “Faktor sentimen menjadi penting dalam menjaga stabilitas pasar keuangan domestik,” ujarnya.

Menurut Rizal, kebijakan tarif AS bisa memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,1 persen. IMF bahkan menurunkan proyeksi pertumbuhan Indonesia dari 5,1 persen menjadi 4,7 persen.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 sebesar 4,87 persen secara tahunan. Angka ini lebih rendah dari kuartal IV-2024 (5,03 persen) dan kuartal I-2024 (5,11 persen), mengindikasikan perlambatan.

Dengan risiko eksternal yang masih membayangi, koordinasi antara pemerintah dan BI dinilai krusial untuk menjaga stabilitas, menenangkan pasar, dan mengantisipasi dampak ekonomi global yang tak menentu.

Jangan ketinggalan berita! Ikuti saluran WhatsApp kami! Klik di sini