Pengamat Ingatkan Jokowi "Kutukan" Periode Kedua

Jelang tahun politik 2024 mendatang, dinamika dan performa kabinet Jokowi-Ma'ruf yang diisi oleh multi-partai mulai diterawang. Sebab di tahun-tahun itu para menteri mulai digoda urusan politik.


Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno. FOTO: IG


JAKARTA - Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menyebutkan adanya istilah kutukan di periode kedua dalam sistem presidensial. 


Kutukan ini mulai kentara terlihat di tahun-tahun politik, jelang presiden lengser. Gejalanya, pertama menteri-menteri dari parpol mulai sibuk mengurusi politik. Baik untuk pemenangan partai di ajang pemilu, maupun memenangkan jagoannya di ajang Pilkada hingga Pilpres.


"Yang dikhawatirkan orang itu, menteri jadi gak fokus lagi karena sibuk mikirin partainya. Tapi kita harap tidak seperti itu," kata Adi dalam lewat sambungan telepon.


Gejala kedua, lebih berat. Ini yang perlu diantisipasi oleh presiden maupun wakilnya. "Selain sibuk, kedua, muncul oposisi dari dalam," sambungnya.


Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta ini menilai dinamika semacam ini lumrah saja. Karena memang bawaan dari sistem presidensial


Sehingga tak heran, jika parpol pendukung pemerintah yang mulanya membela dan mendukung berubah menjadi kritikus. Tujuannya antara lain untuk menarik simpati masyarakat. 


Kondisi ini, lanjut dia pernah terjadi ketika periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat PKS dan Golkar yang mendapat jatah menteri malah menjadi oposisi dari dalam.


Namun, presiden juga akan berada pada posisi yang dilematis. Karena di satu sisi dia harus menjaga performa kabinet tetap bagus agar ada prestasi dan legacy yang bisa dikenang di akhir masa jabatan. Tapi di sisi lain, presiden juga dituntut harus mampu membuat nyaman parpol pendukungnya. Termasuk menterinya, Gak bisa main asal ganti saja.


"Presiden tetap harus membuat parpol merasa nyaman. Ini satu-satunya katup pengaman agar menteri tidak teralu loyal ke parpol. Caranya bagaimana, presiden yang lebih tahu," jelasnya.


Tapi kalau pada akhirnya, menteri-menteri tetap tidak loyal kepada Presiden, tidak ada salahnya dievaluasi. Jika presiden tidak ingin mengorbankan visi dan misinya gagal terwujud. 


"Kalau gak loyal ya sebagaiknya ganti. Itu lebih baik dari pada mengorbankan legacy yang harus dikejar di akhir jabatan," terang dia.


***