PAN: Amandemen UUD Jangan Jadi Tujuan Politik Sesaat

Isu Amandemen UUD 1945 kembali muncul. Menurut Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay, ini bukan isu baru. Karena MPR periode 2009-2014 juga muncul atas usulan DPD, bahkan di 2014-2019 isu-isu yang akan dibahas sudah drumuskan. Jika terlaksana, jangan sampai Amandemen hanya dijadikan tujuan politik.


DPP PAN Saleh Partaonan Daulay. Foto: IST

JAKARTA. Amandemen UUD 1945 adalah pekerjaan tidak mudah. Perubahan atas pasal-pasal yang terdapat di  dalam konstitusi akan berimplikasi luas dalam sistem ketatanegaraan. S
ejauh ini, UUD telah diamandeman sebanyak 4 kali melalui sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang berlangsung pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Karena itu, Saleh Partaonan Daulay menilai, sebelum pintu amandemen dibuka, sebaiknya seluruh kekuatan politik, civil society, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan berbagai elemen lainnya diharapkan dapat merumuskan agenda dan batasan-batasan amandemen tersebut.

"Konstitusi adalah milik seluruh rakyat. Perubahan terhadap konstitusi sebaiknya didasarkan atas aspirasi dan keinginan rakyat. Perubahan itu pun tidak boleh hanya demi tujuan politik sesaat." ucapnya.

Lanjutnya, agar agenda amandemen tersebut fokus dan terarah, perlu dilakukan pemetaan terhadap pokok-pokok dan isu yang akan diubah. Sebelum dibuka, harus ada kesepakatan seluruh fraksi dan kelompok DPD di MPR terhadap peta perubahan yang nantinya diajukan. Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran bahwa amandemen akan melebar kepada isu-isu lain di luar yang telah disepakati.

"Sekarang ini, amandemen UUD 1945 disebut sebagai amandemen terbatas. Apa yang membatasinya? Nah, itu tadi kesepakatan politik antar fraksi dan kelompok DPD yang ada di MPR. Agar lebih akomodatif, semua elemen di luar MPR juga perlu didengar dan dilibatkan," tegasnya.

Lebih lanjut, secara teknis, pelaksanaan amandemen juga tidak begitu saja. Karena ada beberapa poin yang harus dipenuhi seperti yang tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945 disebutkan, bahwa pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, untuk mengubah pasal-pasal sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% +1 dari seluruh anggota MPR yang ada.

"Persoalan teknis ini diyakini alasan amandemen sulit terlaksana, selain adanya berbagai kepentingan politik yang mengelilinginya," kata Saleh.

Karena, jika menoleh kebelakang, MPR periode 2009-2014 isu amandemen ini sempat menguat atas usulan DPD. Dan kembali berlanjut pada periode 2014-2019. Bahkan, isu-isu yang akan dibahas dan diangkat sudah dirumuskan. Namun, amandemen tersebut belum bisa dilaksanakan.

"Makanya, kalau belum siap, sebaiknya ditahan dulu. Lakukan dulu kajian lebih komprehensif. Pengkajian itu sendiri dapat dianggap sebagai bagian dari proses  amandemen." tutup wakil rakyat dapil 2 Sumut.