Alasan Menag Kembali Batalkan Keberangkatan Jamaah Haji

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memastikan bahwa pemerintah kembali tidak memberangkatkan jemaah haji Indonesia tahun ini.


Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Foto: KEMENAG

JAKARTA - Alasannya, lagi-lagi pandemi Covid-19. Menurut Gus Yaqut, kesehatan dan keselamatan jiwa jemaah lebih diutamakan. Dasar pijakannya: Undang-Undang No 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mengamanahkan pemerintah untuk melaksanakan tugas perlindungan.

“Pemerintah memutuskan bahwa tahun ini tidak memberangkatkan kembali jemaah haji Indonesia,” tegas Menag kepada wartawan di Jakarta, Kamis (3/6).

Hari ini, sebut Yaqut pihaknya telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 660 tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1442 H/2021 M.

Ia menegaskan, keputusan ini diambil setelah melalui kajian mendalam. Kemenag sudah melakukan pembahasan dengan Komisi VIII DPR, sehari sebelumnya (2/6).

Yang jadi pertimbangan: keselamatan jemaah haji, aspek teknis persiapan, dan kebijakan yang diambil oleh otoritas pemerintah Arab Saudi. Komisi VIII DPR, klaim Yaqut dalam simpulan raker tersebut menghormati keputusan yang akan diambil Pemerintah. 

Selain dengan DPR, Kementeriannya juga sudah melakukan serangkaian kajian bersama Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, dan lembaga terkait lainnya. 

Tadi malam, Kemenag juga menggelar pertemuan virtual dengan MUI dan ormas-ormas Islam untuk membahas kebijakan tersebut.

"Alhamdulillah, semua memahami bahwa dalam kondisi pandemi, keselamatan jiwa jemaah harus diutamakan," imbuhnya.

Untuk diketahui, sampai hari ini pemerintah Arab Saudi juga belum kunjung mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang Persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M.

"Ini bahkan tidak hanya Indonesia, tapi semua negara. Jadi sampai saat ini belum ada negara yang mendapat kuota, karena penandatanganan Nota Kesepahaman memang belum dilakukan," tegas Menag.

Kondisi ini berdampak pada persiapan penyelenggaraan ibadah haji. Sebab, berbagai persiapan yang sudah dilakukan, belum dapat difinalisasi.

Untuk layanan dalam negeri, misalnya kontrak penerbangan, pelunasan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), penyiapan dokumen perjalanan, penyiapan petugas, dan pelaksanaan bimbingan manasik. Semuanya baru bisa diselesaikan apabila besaran kuota haji sudah diterima dari Saudi.

Demikian pula penyiapan layanan di Saudi, baik akomodasi, konsumsi, maupun transportasi, belum bisa difinalisasi karena belum ada kepastian besaran kuota, termasuk juga skema penerapan protokol kesehatan haji, dan lainnya. Itu semua diatur dan disepakati dalam MoU antara negara pengirim jemaah dengan Saudi.

"Nah, MoU tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442H/2021M itu hingga hari ini belum juga dilakukan," tuturnya.

Padahal, jelas Menag, untuk kuota 5 persen dari kuota normal saja, waktu penyiapan yang dibutuhkan tidak kurang dari 45 hari.

Berkaca pada penyelenggaraan umrah awal tahun ini, ada sejumlah pembatasan ketat yang diberlakukan. Antara lain larangan salat di Hijir Ismail dan berdoa di sekitar Multazam.

Shaf saat mendirikan salat juga diatur berjarak. Ada juga pembatasan untuk salat jemaah, baik di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

"Pembatasan masa tinggal juga akan berdampak, utamanya pada penyelenggaraan Arbain. Karena masa tinggal di Madinah hanya tiga hari, maka dipastikan jemaah tidak bisa menjalani ibadah Arbain," terangnya.