DPR Merespons Akurasi Tes Covid-19 oleh BIN Yang Diragukan
Laboratorium Badan Intelijen Negara (BIN) menggunakan dua jenis mesin real time PCR dalam melakukan proses uji spesimen. Pertama, jenis Qiagen dari Jerman. Kedua, Thermo Scientific PCR dari Amerika Serikat (AS).
JAKARTA - Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PDI Perjuangan (PDIP) di Komisi I DPR RI, Dede Indra Permana Soediro mengapresiasi inisiatif Badan Intelijen Negara (BIN) dalam membantu penanganan Covid-19. Menurutnya, BIN berkewajiban membantu pemerintah dan siap mendukung seluruh kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Dede menjabarkan pandangannya mengenai peran BIN tersebut. Dia memahami terkait permasalahan akurasi hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) oleh BIN. Dede mengungkapkan, laboratorium BIN dalam melakukan proses uji spesimen menggunakan dua jenis mesin real time PCR. Pertama, jenis Qiagen dari Jerman. Kedua, Thermo Scientific PCR dari Amerika Serikat (AS).
"Terkait masalah akurasi hasil tes, keduanya (Qiagen dan Thermo Scientific PCR) memiliki sertifikat Laboratorium Biosafety Level 2 (BSL-2) yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium," ujar Dede, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (28/9/2020)
Selain itu proses sertifikasi telah dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Internasional, World Bio Haztec (Singapura), dan melakukan kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman untuk standar hasil tes. Dengan begitu, layak digunakan untuk analisis Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)," sambungnya.
Dede yang juga Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menuturkan, BIN juga menerapkan ambang batas standar hasil tes PCR yang lebih tinggi dibandingkan institusi/lembaga lain. Tercermin dari nilai Ct qPCR ambang batas bawah 35, tetapi untuk mencegah orang tanpa gejalan (OTG) lolos screening, maka BIN menaikkan menjadi 40. BIN pun melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.
Dia mengatakan, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN termasuk jaringan intelijen di WHO, telah menjelaskan fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru. Hal itu dapat disebabkan oleh RNA/Protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit, bahkan mendekati hilang pada threshold, sehingga tidak terdeteksi lagi.
"Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut. Berikutnya, terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan standar operasional prosedur (SOP) berbeda pada laboratorium yang berbeda," ucapnya.
Dengan begitu, menurutnya, sampel swab sel yang berisi Covid-19, tidak terambil atau terkontaminasi. Faktor lainnya, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai Cq/Ct-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan Reagen PerkinElmer (AS), A-Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diagnosis (China).
"Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti Genolution (Korea Selatan) dan Liferiver (China) yang digunakan beberapa rumah sakit. Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit," ungkapnya.
Dede mengatakan, BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah Gold Standard dalam pengujian sampel covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti AS, China, dan Swedia. Pada bagian lain, Dia menuturkan, BIN tentu berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) setempat. Hal itu terkait pelaporan untuk menggelar kegiatan tes massal di berbagai titik. BIN pun berkoordinasi dengan dinas kesehatan serta Satuan Tugas (satgas) Penanganan Covid-19 di daerah. Tujuannya untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. Satgas Intelijen Medis, beroperasi pada April 2020.
Sejak dibentuk pada April 2020, menurutnya, BIN selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan kepada Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Dede menegaskan, BIN diberikan kewenangan oleh UU 17/2011 untuk membentuk Satgas dalam pelaksanaan aktivitas Intelijen Medis (Pasal 30 Huruf D). Ancaman kesehatan, lanjutnya, tentu bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia yang merupakan ranah kerja BIN.
"Dengan dasar tersebut, BIN turut berpartisipasi secara aktif membantu Satgas Penanganan Covid-19 dengan melakukan Operasi Medical Intelligence di antaranya berupa gelaran tes swab di berbagai wilayah, dekontaminasi, dan kerja sama dalam pengembangan obat dan vaksin," tuturnya.
Hal serupa, menurutnya, dilakukan di negara-negara lain seperti AS yang memiliki National Center for Medical Intelligence (NCMI). Badan itu melakukan surveillance penyakit menular di dunia. Kemudian juga NATO di Eropa yang melibatkan aktivitas intelijen dalam pengkajian infrastruktur kesehatan.
Dede menyatakan, kehadiran Satgas BIN telah mendapat apresiasi positif dari kementerian/lembaga (K/L) dan pemda yang menyampaikan permohonan kepada BIN untuk membantu pelaksanaan tracing di wilayah/institusinya dengan melakukan tes swab dengan beban anggaran operasi BIN.
Upaya-upaya yang dilakukan BIN, semata-mata untuk membantu pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 antara lain melalui 3T atau testing, tracing dan treatment. Selain itu juga untuk memperbanyak kapasitas testing di Indonesia yang saat ini masih di bawah rata-rata tes harian sebagaimana ditetapkan WHO (1000 tes per 1 juta penduduk).
"Karenanya, BIN bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian dan universitas yang memiliki fasilitas laboratorium BSL-2 dan 3 di berbagai daerah. Utamanya yang masuk dalam zona merah Covid-19, untuk meningkatkan kapasitas uji spesimen dengan memberikan berbagai bantuan alat laboratorium," imbuhnya.
Selain itu, BIN juga membangun 1 Laboratorium Stasioner Berstandar BSL-2+ dan empat Unit Laboratorium Mobile Berstandar BSL-2. Tujuannya untuk membantu mempercepat dan memperbanyak kapasitas testing yang mampu menjangkau zona-zona merah. Sebab sebelumnya zona-zona merah itu tidak dapat dijangkau, mulai dari RT PCR hingga berbagai peralatan lainnya, seperti reagen dsb.
"Upaya 3T dimaksudkan untuk mencegah OTG/asimptomatik agar tidak menjadi spreader menjadi perhatian bersama. Selain itu penting juga mengobati pasien Covid-19 kondisi ringan dan sedang yang dideteksi sejak dini dari tes swab berpeluang sembuh lebih besar serta lebih murah. Jangan sampai stigmatisasi masyarakat yang kuat melekat menjadi bagian dari polemik hasil tes positif-negatif," tegasnya.
Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PDI Perjuangan (PDIP) di Komisi I DPR RI, Dede Indra Permana Soediro. Foto: IST |
Dede menjabarkan pandangannya mengenai peran BIN tersebut. Dia memahami terkait permasalahan akurasi hasil tes Polymerase Chain Reaction (PCR) oleh BIN. Dede mengungkapkan, laboratorium BIN dalam melakukan proses uji spesimen menggunakan dua jenis mesin real time PCR. Pertama, jenis Qiagen dari Jerman. Kedua, Thermo Scientific PCR dari Amerika Serikat (AS).
"Terkait masalah akurasi hasil tes, keduanya (Qiagen dan Thermo Scientific PCR) memiliki sertifikat Laboratorium Biosafety Level 2 (BSL-2) yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium," ujar Dede, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (28/9/2020)
Selain itu proses sertifikasi telah dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Internasional, World Bio Haztec (Singapura), dan melakukan kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman untuk standar hasil tes. Dengan begitu, layak digunakan untuk analisis Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)," sambungnya.
Dede yang juga Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu menuturkan, BIN juga menerapkan ambang batas standar hasil tes PCR yang lebih tinggi dibandingkan institusi/lembaga lain. Tercermin dari nilai Ct qPCR ambang batas bawah 35, tetapi untuk mencegah orang tanpa gejalan (OTG) lolos screening, maka BIN menaikkan menjadi 40. BIN pun melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.
Dia mengatakan, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN termasuk jaringan intelijen di WHO, telah menjelaskan fenomena hasil tes swab positif menjadi negatif bukan hal yang baru. Hal itu dapat disebabkan oleh RNA/Protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit, bahkan mendekati hilang pada threshold, sehingga tidak terdeteksi lagi.
"Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan dites pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut. Berikutnya, terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan standar operasional prosedur (SOP) berbeda pada laboratorium yang berbeda," ucapnya.
Dengan begitu, menurutnya, sampel swab sel yang berisi Covid-19, tidak terambil atau terkontaminasi. Faktor lainnya, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai Cq/Ct-nya sudah mendekati 40. Dalam kaitan ini, BIN menggunakan Reagen PerkinElmer (AS), A-Star Fortitude (Singapura), Wuhan Easy Diagnosis (China).
"Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merk lain seperti Genolution (Korea Selatan) dan Liferiver (China) yang digunakan beberapa rumah sakit. Dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit," ungkapnya.
Dede mengatakan, BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah Gold Standard dalam pengujian sampel covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti AS, China, dan Swedia. Pada bagian lain, Dia menuturkan, BIN tentu berkoordinasi dengan pemerintah daerah (pemda) setempat. Hal itu terkait pelaporan untuk menggelar kegiatan tes massal di berbagai titik. BIN pun berkoordinasi dengan dinas kesehatan serta Satuan Tugas (satgas) Penanganan Covid-19 di daerah. Tujuannya untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. Satgas Intelijen Medis, beroperasi pada April 2020.
Sejak dibentuk pada April 2020, menurutnya, BIN selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan kepada Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19. Dede menegaskan, BIN diberikan kewenangan oleh UU 17/2011 untuk membentuk Satgas dalam pelaksanaan aktivitas Intelijen Medis (Pasal 30 Huruf D). Ancaman kesehatan, lanjutnya, tentu bagian dari ancaman terhadap keamanan manusia yang merupakan ranah kerja BIN.
"Dengan dasar tersebut, BIN turut berpartisipasi secara aktif membantu Satgas Penanganan Covid-19 dengan melakukan Operasi Medical Intelligence di antaranya berupa gelaran tes swab di berbagai wilayah, dekontaminasi, dan kerja sama dalam pengembangan obat dan vaksin," tuturnya.
Hal serupa, menurutnya, dilakukan di negara-negara lain seperti AS yang memiliki National Center for Medical Intelligence (NCMI). Badan itu melakukan surveillance penyakit menular di dunia. Kemudian juga NATO di Eropa yang melibatkan aktivitas intelijen dalam pengkajian infrastruktur kesehatan.
Dede menyatakan, kehadiran Satgas BIN telah mendapat apresiasi positif dari kementerian/lembaga (K/L) dan pemda yang menyampaikan permohonan kepada BIN untuk membantu pelaksanaan tracing di wilayah/institusinya dengan melakukan tes swab dengan beban anggaran operasi BIN.
Upaya-upaya yang dilakukan BIN, semata-mata untuk membantu pemerintah dalam percepatan penanganan pandemi Covid-19 antara lain melalui 3T atau testing, tracing dan treatment. Selain itu juga untuk memperbanyak kapasitas testing di Indonesia yang saat ini masih di bawah rata-rata tes harian sebagaimana ditetapkan WHO (1000 tes per 1 juta penduduk).
"Karenanya, BIN bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian dan universitas yang memiliki fasilitas laboratorium BSL-2 dan 3 di berbagai daerah. Utamanya yang masuk dalam zona merah Covid-19, untuk meningkatkan kapasitas uji spesimen dengan memberikan berbagai bantuan alat laboratorium," imbuhnya.
Selain itu, BIN juga membangun 1 Laboratorium Stasioner Berstandar BSL-2+ dan empat Unit Laboratorium Mobile Berstandar BSL-2. Tujuannya untuk membantu mempercepat dan memperbanyak kapasitas testing yang mampu menjangkau zona-zona merah. Sebab sebelumnya zona-zona merah itu tidak dapat dijangkau, mulai dari RT PCR hingga berbagai peralatan lainnya, seperti reagen dsb.
"Upaya 3T dimaksudkan untuk mencegah OTG/asimptomatik agar tidak menjadi spreader menjadi perhatian bersama. Selain itu penting juga mengobati pasien Covid-19 kondisi ringan dan sedang yang dideteksi sejak dini dari tes swab berpeluang sembuh lebih besar serta lebih murah. Jangan sampai stigmatisasi masyarakat yang kuat melekat menjadi bagian dari polemik hasil tes positif-negatif," tegasnya.
Posting Komentar